Lihat ke Halaman Asli

Cerpen: Si Jujur Mati di Desa Ini

Diperbarui: 15 April 2016   00:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Berbagi cerita di depan tungku"][/caption]

Oleh: Iman Suwongso

Pagi yang indah memudar di Pasar Kliwon. Langit biru tak berawan. Angin lembah semilir menyusup ke gang-gang pasar. Hari itu orang-orang desa yang tinggal di lembah ini tidak ingin segera beranjak dari pasar. Mereka sedang membicarakan suatu peristiwa yang terjadi di Kantor Desa; perihal hilangnya mesin ketik Pak Carik.

            Masyarakat desa ini punya kebiasaan bercerita dari mulut ke mulut, tentang peristiwa yang dialami warga desanya. Ibaratnya, jarum jatuh saja akan terdengar oleh tetangganya dan menjadi bahan cerita. Cerita itu akan dikupas sebab-sebabnya, kemudian dicari kemungkinan-kemungkinan penyelesaiannya. Cerita itu akan bergulir terus. Hanya peristiwa lain, yang lebih seru, yang akan menghentikan cerita itu.

            Raibnya mesin ketik itu sudah pasti cepat menyebar. Karena, tanpa mesin ketik itu, Pak Carik tidak akan bisa melayani masyarakat, membuatkan surat pengantar untuk mengurus KTP.  Diantara orang-orang yang mengurus surat itu, ada yang dengan kesal menceritakan kepada orang-orang yang berpapasan dengannya sepanjang jalan pulang dari Kantor Desa. Menurutnya, kebutuhan untuk menggunaka KTP-nya sangat mendesak, sedangkan KTP-nya yang lama sudah habis tanggal.

            Namun, bagi sebagian besar orang desa ini, mereka kesal karena yang dibobol pencuri kali ini adalah Kantor Desa. “Kantor Desa itu kan dijaga hansip 24 jam, lha kok ya masih disatroni maling. Bagaimana dengan rumah-rumah di pinggir hutan?” Kata seorang pedagang.

            Kekecewaan itu menggugah kenangan tentang rentetan peristiwa-peristiwa culas yang mereka alami sebelumnya. Kenangan-kenangan itu menggumpal di wajah mereka, siap meledak menjadi kejengkelan. “Bayangkan, sebelum pencurian mesin ketik itu, pernah diceritakan di pasar ini juga tentang maling di rumah janda muda itu. Ceritanya waktu itu menjadi seru karena si janda ditelanjangi, hampir diperkosa.” Seorang pembeli mengingatkan. Kemudian ada juga yang ingat tentang aksi copet di Pasar Kliwon ini; ada lagi aspal jalan yang akan digunakan meratakan jalan desa, tiba-tiba lenyap satu drum, tak jelas jejaknya.

            Sudah kodratnya kalau manusia ingin hidup tenang, tanpa gangguan oleh peristiwa-peristiwa mencemaskan. Mereka berpikir, apakah tidak ada jalan keluar untuk mencegah maling-maling itu semakin bergentayangan? Saat pikiran mereka berputar-putar, ada yang berkata dengan nada spontan, “Saya kok menjadi rindu sama Siwo, ya.”

            Orang-orang di pasar ini, setelah mendengar nama Siwo, tiba-tiba wajahnya memancarkan seribu cahaya. Mereka merapat satu sama lain membentuk kerumunan yang padat. Pembicaraan mereka terpusat pada nama Siwo. Ujung-ujungnya muncul harapan diantara mereka, apakah mungkin Siwo dikirim ke desa mereka lagi?

***

            Dulu, Siwo adalah sosok yang bisa mengetahui peristiwa-peristiwa tersembunyi yang dialami desa ini. Padahal, dia tidak mewarisi darah desa ini. Asal usulnya juga tidak jelas. Ia tiba-tiba saja ada di desa ini sepuluh tahun yang lalu. Ia seperti gelandangan yang dilemparkan begitu saja dari dalam truk di bawah gapura ujung jalan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline