Lihat ke Halaman Asli

Les Guru

Diperbarui: 26 Juni 2015   12:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

ADA kabar, anakku adalah siswa yang paling jelek nilai ujiannya. Sontak, saya dan istriku kaget.  Baru saja saya melihat hasil ujian UTS-nya, lumayan. Artinya, masih rata-rata nilai kelas, 7,5.  Tapi desas-desus anaknya adalah siswa paling jelek nilainya, menjadi hot gosip di kalangan ibu-ibu yang biasa mengantar anak-anaknya sekolah. Meski tak tahu seberapa jauh kebenarannya, namun anakku yang masih duduk di kelas 2 SD Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) itu menjadi hot.

Ada yang berubah memang sejak anak ketiga saya lahir,  istriku jarang mengantarkan anakku  ke sekolah. Apalagi, anaku itu cukup aktif, dia memaksa untuk pergi menggunakan sepeda ke sekolah. Alhasil, semua sejak tiga bulan terakhir, anaku jarang diantar ke sekolah.  Namun, seiring waktu berjalan, tiba-tiba terdengan desas-desus tentang anaku sebagai siswa yang paling bontot nilainya.

Di rumah, anakku cukup rajin belajar. Mengerjakan LKS atau PR yang diberikan gurunya. Lalu, nilai ujian tengah semester pun tak terlalu mengecewakan. Walau ada yang diremidial, karena nilainya 7,2 untuk agama. Meski sempat bertanya, 7,2 harus diremidial, ternyata minilai nilai standar itu 7,5. Wah, jauh dari standar nilai saat saya SD dulu :). Namun, informasi tadi membuat istri panas dingin. Dengan mencari waktu tepat, istriku mendatangi sang walikelas.

Dengan segala kelapangan, istriku mengakui agak berkurang perhatiannya pada anak pertama ini. Ada alasan yang cukup mendasar, dia melahirkan dan dalam waktu bersamaan, ibu mertuaku sakit keras. Lalu, mulailah diceritakan soal informasi bahwa anaku paling kecil mendapat nilai UTS. Satu persatu dijawab kenapa nilai anaku jeblok.  Dan alasan yang paling utama adalah anakku tidak pernah ikut les yang diadakan guru usai pulang sekolah.

Hari iru juga, saya dan istri berkomitmen untuk menekan agar anakku mau les pulang sekolah. Dengan 5.000 setiap kali datang les, saya rasa masih mampu, karena dalam seminggu ada 3 sampai4 kali les. Tapi, beberapa hari setelah kami mengambil keputusan itu, saya berpikir ini mencurigakan.

Dari obrolan santai, ternyata dalam les sang guru mengkhususkan menjawab soal-soal latihan. Dan ternyata, soal latihan sekaligus jawaban itu ada dalam ujian harian sekolah. Nah, saya bertanya kenapa soal latihan itu tidak diberikan saat jam pelajaran sekolah, tapi malah di waktu les yang notabene di luar jam sekolah. Saya pun mencurigai, ada pola pengajaran yang memang membuat siswa diharuskan les pada guru mereka. Guru sang pemegang kuasa di kelas, mengkondisikan agar anak mau dan harus les lagi agar bisa menjawab ujian harian.  Saya melihat ada dua kepentingan yang terjadi, yakni kepentingan ekonomis, yakni sang guru bisa mengambil untung dengan les di luar jam sekolah. Kepentingan kedua, nilai pelajaran siswa menjadi tolok ukur sang guru sebagai bagian dari nilai kompetensinya. Seperti halnya, tidak adanya siswa yang berada di bawah standar nilai minimal 7.5, sang guru dinyatakan berhasil mentransformasi pelajaran pada anak siswanya.

Ironi memang jika masalah ini memang terjadi. Saya melihat si anak ditekan dengan kegiatan kognitif yang begitu buas. Anak harus bisa menghapal science (IPA dalam bahasa inggris) , math (matemtika dengan pengantar bahasa inggris), bahasa jepang plus tulisan kanji, matematika, Pengetahuan Alam, agama, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan pelajaran lainnya, yang mengeksplorasi sangat berlebihan pada aspek kognisi. Padahal, anak-anak SD masih memerlukan rasa riang dalam belajar, bukan disumpel bermacam hapalan. Masih menikmati waktu-waktu bermain, bukan berkutat pada hitungan matematis. Wajar bisa anakku terlihat lelah sepulang sekolah. Dia langsung membongkar tempat mainan lalu bermain mobil-mobilan. Seperti melampiaskan kehendak bermainnya, lepas dengan segala macam mobil dan replika hewannya.  hmm..  sampai kapan Nak kamu harus begini.

(Sayayangmasihbingungmemutuskanyangterbaikuntukanakku)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline