Bagi anda yang tinggal di pemukiman padat penduduk, mungkin tak jarang mendengar suara khotbah yang lantang di malam hari.
Setuju atau tidak, anda hanya bisa menelan monolog yang diperkuat alat bernama toa ini, hingga terkadang pekik semangat pak khatib berpadu dengan hingar karaoke tetangga, bising knalpot dan tangisan anak kecil.
Toa memang tak sendiri, tapi sudah lazim buat kita menyebut apapun merek speaker atau megaphone dengan toa.
Mungkin tak perlu dipermasalahkan juga, toh kita tidak pernah mendengar pemilik merek dagang, misalnya saja, Odol--apalagi masyarakat Jerman--tersinggung sentimen nasionalismenya gegara istilah odol kita gunakan untuk menyebut pasta gigi.
Masalahnya, sebagaimana otoritas administratif atas frekwensi serta merta mendaku sebagai rujukan kebenaran, kekuasaan atas toa masjid pun seolah menjadi landasan orang untuk mendaku kebenaran dan memaksakannya di ruang publik.
Bahkan peribadatan paling privat pun mesti diperdendangkan dan dijejalkan ke telinga semua orang hanya karena menjadi preferensi para pemilik kuasa atas toa.
Kesantunan hidup sebagai anggota masyarakat dipaksa mengalah pada semangat syi'ar yang tak kenal kompromi.
Siang, malam, bahkan dini hari; tak peduli orang mesti beristirahat, punya kesibukan lain, atau sama beribadat pula di rumahnya masing-masing, gaung kesalehan diri mesti terkumandang dan diketahui setiap makhluk Tuhan di muka bumi.
"Ah, jangan su'udzon," Oh ya tentu saja, mengganggu orang pun jangan pula.
Jika hingar toa menjadi identik dengan masjid sebagai tempat peribadatan kaum Muslim, maka Islam tak semestinya menanggung kebisingannya.