Lihat ke Halaman Asli

Kesaksian Pengguna Kereta Api

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saya bukan pengguna berat kereta api, baik jarak dekat ataupun jauh. Saya hanya menggunakan "si kuda besi" ini sesekali saja, terutama untuk perjalanan jarak jauh, utamanya yang menuju ke arah Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Meski demikian, dalam benak saya selalu tersimpan stigma bahwa perjalanan paling nyaman adalah menggunakan kereta api kelas eksekutif. Dalam bayangan saya, kelas ekonomi itu tidak nyaman, kotor dan rawan. Pemberitaan dan kisah dari kawan membenarkan stigma itu, seperti penumpang yang bisa naik tanpa tiket, duduk tanpa memperhatikan nomor tiket, para pedagang asongan yang masuk ke dalam gerbong, para pencopet yang berkeliaran hingga yang paling mengerikan: penumpang yang dibunuh penjahat di kursinya karena mempertahankan barang yang dia bawa.

Hingga suatu hari, saya melihat pengumuman ada kereta kelas ekonomi ke Bandung seharga Rp45 ribu yang berangkat dari Statsiun Kota dan berhenti di Statsiun Kiaracondong, Bandung.  "Serayu" nama kereta api itu. Didorong oleh rasa penasaran, saya pun mencoba kereta api kelas murah itu dengan mengajak kedua anak lelaki saya yang masih berusia 10 dan 9 tahun. Membawa kedua anak akan menjadi indikator, bila mereka mengaku nyaman berarti kereta api kelas ekonomi itu memang nyaman bagi anak-anak, dan juga dewasa tentunya.

Singkat kata, perjalanan pun dimulai dengan keberangkatan pukul 08.30. Tiba di Bandung pukul 12.30 (kurang lebih 5 jam, molor satu jam dari jadwal yang tertera di tiket).  Sebenarnya perjalanan ke Jakarta-Bandung tidak selama itu, namun celakanya seringkali tersendat di pintu tol Pasteur hingga total perjalanan hingga ke rumah,  ya kurang lebih selama itu.

Tapi kedua anak saya mengaku menikmati perjalanan itu. Dia pun ingin mencoba menggunakan kelas ekonomi untuk perjalanan yang lebih jauh lagi. Pilihan pun  jatuh pada Kereta Api Tegal Arum (Jakarta Kota -Tegal), dengan tiket hanya Rp25 ribu. Saya membeli tiket pergi-pulang.

Dengan memanfaatkan libur Paskah (Jumat-Minggu lalu), kali  ini saya ajak isteri dan anak paling kecil. Berarti, ini untuk pertama kalinya saya mengajak keluarga naik kereta  kelas ekonomi. Berangkat dari Statsiun Kota pukul 16.15 dan tiba di Statsiun Tegal pukul 21.30 atau telat tiga menit dari jadwal yang tertera di tiket.

Selama perjalanan  tidak ada komplain dari isteri dan anak-anak saya, yang berarti perjalanan kereta itu lumayan mengesankan bagi mereka. Bahkan dalam perjalanan pulang ke Jakarta, isteri saya pun sudah merencanakan akan jalan-jalan ke Jawa Timur (mungkin Malang, Surabaya atau Kediri), juga dengan kereta kelas ekonomi, yang harganya murah.

Sepulang dari jalan-jalan itu, barulah saya tergugah,  mengapa moda kereta api yang murah dan relatif tepat waktu itu baru dibenahi dalam setahun terakhir oleh pemerintah? Mengapa pemerintah seolah ngotot mengandalkan jalur Pantura yang kini didera kemacetan parah akibat jalannya rusak. O ya, saat jalan-jalan di kota Tegal, sempat melintasi jalur pantura menggunakan angkutan umum. Sopir angkutan bercerita bahwa jalan rusak di pantura sudah makin parah. "Sudah nggak ada pantes-pantes nya Om," kata sopir itu sambil menunjuk beberapa ruas yang memang berlubang.    Hal yang sama disampaikan oleh pemilik penginapan tempat saya menginap. "Terlambatnya di Pantura bisa lima sampai enam jam, "katanya.

Saya semakin percaya pada banyak prediksi ahli transportasi bahwa kereta api memang moda untuk Indonesia masa kini dan masa depan. Daya angkut, kehandalan, kenyamanan dan ketepatan waktunya saya kira masih tak terkalahkan.

Namun pertanyaan kembali menelisik, mengapa jalur kereta di Pulau Jawa banyak yang dimatikan? Padahal jalur itu banyak dibangun sejak zaman Belanda untuk memperlancar arus barang dan manusia? Dan mengapa tidak ada presiden yang serius membenahi kereta api? Sementara Jalur Pantura terus diperbaiki menjelang Lebaran dengan dana triliunna rupiah? Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), proyek perbaikan Jalur Pantura disebut  "proyek abadi".

Dalam pikiran nakal saya, jangan-jangan kereta api memang sengaja tidak dirawat dan diperbaiki, agar masyarakat terus kredit  kendaraan roda dua sampai roda belasan. Ujungnya, pabrik motor dan mobil laku keras, BBM terus membengkak dan proyek di panturan terus jalan dan bisa dikorupsi. Hitung-hitungan bisnis berlaku di sini. Ya siapa yang tidak ngiler dengan duit triliunan dari Jalur  Pantura dan proyek turunannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline