Dia seorang perempuan Jawa yang belum mengenyam hasil perjuangan dari Raden Ajeng Kartini. Dia tidak bisa membaca dan juga tidak dapat menulis. Tapi dia merasa lebih beruntung dari Kartini karena hidup di saat Indonesia sudah merdeka.
Dia seorang janda dengan 4 orang anak. Tinggal di sebuah kontrakan sederhana bersama anak bungsunya.
Ketiga anaknya yang lain sudah tidak tinggal serumah dengannya, tapi kadang masih dibiayainya. Hati seorang ibu mana yang tidak tersentuh ketika anak kandungnya datang memohon bantuannya?
Sisa hidupnya sekarang hanyalah untuk si bungsu. Dia akan berjuang sekuat tenaga untuk si bungsu. Si Bungsu harus terus bersekolah, jangan sampai putus pendidikannya seperti yang dialami ketiga kakaknya. Itu saja satu-satunya mimpinya.
Tidak pernah dia bermimpi untuk bertamasya dan menginap di hotel yang mewah. Baginya, rumah dari tiga keluarga yang menerima jasanya sebagai pembantu rumah tangga adalah daerah tujuan wisatanya. Dan kontrakan yang harganya seharga Rp 500 ribu per bulan itu adalah hotel tempat peristirahatannya.
Saat sang surya masih asyik dalam peraduannya, dia sudah terbangun dari tidurnya. Sepeda butut menjadi kendaraannya agar dia bisa cepat bergerak dan berpindah dari rumah yang satu ke rumah yang berikutnya. Dia baru kembali ke rumahnya saat matahari sudah tenggelam di gelapnya malam, termasuk di bulan Ramadhan.