Lihat ke Halaman Asli

Lukman Hamarong

Sangat sulit menjadikan aku seperti kamu, karena aku adalah aku, kamu ya kamu

Mengelus-elus Jogjakarta

Diperbarui: 13 April 2017   12:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebelum meninggalkan Jogja, menikmati makanan "nasi kucing" yang dijajakan para pedagang kaki lima

Anda tidak akan pernah berjalan ke depan ketika Anda hanya pandai mengelus-elus kehebatan masa lampau. Ungkapan sarkastis sejarahwan nasional, Prof. Dr. Anhar Gonggong, itu telah membuka mata kita bahwa terlena dengan kehebatan masa lalu yang meninabobokan tanpa ada upaya terkini untuk bangkit dan melangkah ke depan, membuat kita akan selalu terkungkung oleh sejarah hebat masa lalu. Apa yang dikatakan Prof. Anhar benar adanya, dan saya sepakat mengatakan “tidak” untuk mengelus-elus kehebatan sejarah masa lalu tanpa ada upaya masif untuk bangkit di kekinian, karena konsekuensi logisnya adalah kita akan terkubur bersama kehebatan masa lalu, seturut tenggelamnya kita melihat masa depan.

Beberapa waktu lalu, saya mengunjungi kota istimewa bernama Yogyakarta, mulut saya lebih indah menyebutnya Jogjakarta, sebuah kota yang selalu saya baca tentang sejarahnya, keunikannya, keistimewaannya, dan macam-macam informasi yang membuat kita ingin mengunjungi kota itu. Bahkan KLA Project membuat lagu berjudul Yogyakarta yang sempat booming di dekade 1990-an. Bahkan lagu itu menjadi hit’s dan meraih penghargaan BASF Award sebagai lagu terbaik. Dan ketika ada ajakan ke sana, tanpa tedeng aling-aling saya pun mengiyakan. Kapan lagi kalau bukan sekarang berkunjung ke Jogja yang istimewa itu.

Maaf prof, ijinkan saya mengelus-elus Jogjakarta, kota yang mempunyai cerita epik masa lalu, kota yang baru saja saya kunjungi untuk kali pertama dalam hidupku. Kesan pertama ketika saya menginjak Bandara Adi Sutjipto biasa saja, mengingat bandara itu tak semewah Bandara Sultan Hasanuddin Makassar. Kesan datar di area bandara seketika berubah 180 derajat tatkala saya bersama Staf Ahli Bupati Luwu Utara keluar dan melihat angkutan umum Trans Jogja yang membawa kami keliling merasakan indahnya suasana Jogja. Tiap sudut menyapaku bersahabat, penuh selaksa makna, seperti KLA Project katakan dalam lagunya.

Kagum sekaligus iri melihat Trans Jogja yang begitu tertib mengambil penumpang dari satu halte ke halte lainnya. Trans Jogja menyediakan kursi di masing-masing sisinya dan menyisakan gantungan tempat penumpang lain yang belum kebagian tempat duduk untuk berdiri. Tak perlu ada marah dan keluh kesah bagi yang berdiri, karena penumpang yang duduk ketika keluar bus akan mempersilakan penumpang yang berdiri di dekatnya untuk menggantikannya duduk. Sebuah pemandangan yang indah. Lagian tarif Trans Jogja sangat terjangkau bagi semua kalangan. Jauh dekat, nominal rupiah tetap sama. Sungguh sebuah kota yang senantiasa menghadirkan senyum yang abadi.

Cerita tentang Jogja yang membuat kami sangat menikmati suasananya adalah ramainya para pedagang kaki lima, musisi jalanan yang kreatif dan inovatif yang sepanjang 1 x 24 jam bersenandung indah memanjakan para wisatawan lokal maupun mancanegara, dan derap langkah kaki-kaki kuda yang menghiasi sepanjang trotoar dan melewati berbagai etalase di Jalan Malioboro yang melegenda itu. Sebuah pemandangan yang unik, indah dan memesona. “Di persimpangan langkahku terhenti, ramai kaki lima jajakan sajian khas berselera, orang duduk bersila. Musisi jalanan mulai beraksi, seiring laraku kehilanganmu, merintih sendiri ditelan deru kota”. Jogja, di tegah cerita pro dan kontra, engkau menghadirkan perbedaan, keunikan, dan kecemburuan. Betul kata KLA Project, kotamu senantiasa hadirkan senyum yang abadi.   

Masih tentang Jogja. Di hari ketiga sebelum kami beranjak meninggalkan kota itu, di saat perut masih kosong melompong, di tengah diburu jadwal penerbangan yang semakin kasip, pedagang di dekat hotel tempat kami memarkir lelah, hadir memberikan ketenangan. Tak perlu kami mengeluarkan uang yang banyak untuk mengganjal perut yang masih kosong. Cukup dengan tiga lembar uang seribuan, mampu menghadirkan kenyamanan di dalam perut. Nasi yang dibungkus dengan kertas koran yang dialasi dengan kertas laminasi itu biasa disebut “nasi kucing”. Jangan lihat namanya, tapi rasakan sensasi penyelamatannya terhadap rasa lapar. Sekali lagi, kreativitas masyarakat di sana sungguh sangat menginspirasi. Terimakasih Jogja, sensasimu hadirkan senyum yang abadi. Terimakasih Prof, sudah menginspirasi saya melahirkan tulisan ini. (Lukman Hamarong)





BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline