Betul bahwa tim nasional kita mampu menapaki tangga final Turnamen AFF Suzuki Cup 2016. Dan juga betul bahwa kita mampu melewati hadangan dua tim kuat dengan reputasi mentereng di Asia Tenggara, Singapura dan Vietnam, sebelum bersua Thailand di Grand Final. Tetapi apa yang timnas tampilkan di final adalah puncak antiklimaks dari perjuangan Garuda di babak sebelumnya. Kekuatan Indonesia mencapai level puncaknya sampai di Pakansari saja.
Jika kita mau berandai-andai, Indonesia sudah menjadi juara Piala AFF edisi kali ini, jika sistem home and away ditiadakan, dan kita menjadi tuan rumah. Kurnia Meiga dkk akan mengangkat setinggi-tingginya trofi AFF untuk kali pertama di Stadion Pakansari. Vietnam dan Thailand lawan kita di semifinal dan final harus tunduk pada atmosfer penonton yang riuh rendah di seantero nusantara yang membuat nyali mereka menciut.
Namun semua itu hanya andaikata dan seandainya. Perjuangan meraih mimpi juara harus dikubur di Stadion Rajamangala Thailand. Dua gol tanpa balas memupus harapan Indonesia untuk memberikan kado terindah buat negeri yang terlihat kian bermasalah dengan semboyan ikoniknya, Bhinneka Tunggal Ika. Padahal jika kita juara, semangat kebhinnekaan kembali akan memunculkan daya magisnya di republik ini. Tetapi apa pun itu, juara atau tidak juara, Andik dkk telah memberikan yang terbaik, dan patut kita apresiasi, bukan malah membentuk parade nyinyir yang berkelanjutan.
Hasil yang diraih Indonesia semalam telah membuka mata kita bahwa sejatinya hasil tersebut adalah pantas. Pantas karena proses menuju turnamen AFF Cup boleh dibilang seadanya. Meski Cuma seadanya, Indonesia mampu sampai ke final, dan hasil tersebut sama saja dengan Juara. Persiapan yang minim di tengah kompetisi transisi yang sebenarnya dipaksakan. Diperparah lagi dengan terbatasnya pelatih memilih pemain terbaik karena klub hanya mengizinkan maksimal dua pemainnya untuk membela negara. Ditambah lagi dengan baru bebasnya PSSI dari kurungan sanksi FIFA semakin memperkuat klaim bahwa hasil tidak akan pernah mengkhianati proses.
Rizki Pora dkk belum mampu merusak pesta pora negeri Gajah Putih, sementara Manahati Lestusen masih mencari-cari hatinya yang menghilang di laga final, sehingga permainannya tidak sebaik di babak semifinal. Pun dengan Ferdinand Sinaga yang belum mampu mengeluarkan jurus naga mematuk gajah akibat sering dibangkucadangkan pelatih. Setali tiga uang dengan Emas Indonesia (Evan Dimas) yang sinarnya meredup akibat perlakuan pelatih yang tidak memercayainya tampil di laga puncak. Selamat buat Gajah Putih, terima kasih buat Garuda Merah Putih. Garudaku, jangan cuma di dada saja, tapi terbanglah setinggi-tingginya meraih puncak prestasi. (Lukman Hamarong)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H