Membaca judul di atas, sepintas bayangan kita tertuju pada sebuah judul lagu milik Iwan Fals, Sapuku Sapumu Sapu-sapu. Namun, tak ada sinkronisasi antara judul tersebut dengan judul yang saya angkat kali ini. Namun, saya mencoba sedikit menyamakan, kalau tidak bisa dikatakan dipaksa-dipaksakan, biar menimbulkan kesamaan atau kemiripan.
Coba kita simak lirik lagu Iwan Fals tersebut, “Tukang sapu kuli PU besar jasamu, Oh kawan. Dengan sapu ganyang sampah dan debu ‘tuk sesuap makan. Tidak ada salahnya jika lirik tersebut saya coba sadur dalam rupa makna tentang sagu, tentang petani sagu dan konsumennya. “Tukang sagu kuli sagu besar jasamu, oh kawan. Dengan sagu ganyang kemiskinan dan ketertinggalan, ‘tuk sesuap makan.”
Sudah bukan rahasia lagi, sagu adalah jenis tanaman pangan yang dulunya termarginalkan oleh keadaan, menjadi makanan orang-orang pinggiran karena sagu merupakan tanaman liar yang bisa tumbuh di mana saja pada kawasan yang luas. Menjadi penyanggah hidup jika tak ada benih padi untuk ditanam, tak ada beras untuk dimasak, dan tak ada nasi untuk dimakan.
Pokoknya, jika makanan utama rakyat Indonesia itu tak terjangkau, maka sagu adalah “tersangka” utama untuk dijadikan bukti sahih penyambung hidup mereka. Stigma yang terbangun dahulu kala adalah sagu itu makanan orang-orang kelas bawah.
Seiring perkembangan jaman yang linier dengan perkembangan informasi dan teknologi, nasib tanaman sagu berubah 180 derajat, sangat drastis. Sagu kini dicari, diteliti oleh para cerdik pandai bergelar professor, dijadikan komoditi unggulan berlabel kearifan lokal.
Pemerintah pusat melalui perpanjangan tangan pemerintah daerah melakukan segala terobosan demi terobosan agar sagu menjadi makanan elit, tidak lagi inferior di hadapan pangan pokok utama seperti beras dan terigu.
Olahan pangan lokal dari sagu kini marak dipraktekkan, dijual dan dipamerkan dari panggung ke panggung. Maka beruntunglah petani sagu saat ini, karena mereka mendapat perhatian dan dijadikan sasaran pengembangan komoditi yang jamak kita jumpai di Papua, Maluku dan Tana Luwu tersebut.
Saguku, sagumu, sagu kita semua. Sagu di Papua dijadikan makanan khas seperti Papeda, sementara di tempat saya, sagu dijadikan kuliner khas Tana Luwu seperti kapurung, mie, bagea, dan masih banyak jenis olahan lain yang bersumber dari sagu. Maka layak kita berbangga pada petani sagu, berterima kasih kepada mereka karena masih menjaga kelestarian sagu kita.
Namun, di tengah euforia sagu yang begitu memesona, menjadi primadona kaum elitis, terselip ironis terbungkus miris. Antusiasme petani sagu tidak berbanding lurus dengan peralatan yang dimiliki.
Sudah bukan rahasia, jika sagu kering lebih menjual ketimbang sagu basah. Semua olahan pangan yang banyak dijumpai di toko-toko besar bersumber dari sagu kering. Dan untuk melakukan pengeringan dibutuhkan peralatan modern. Ini yang belum dimiliki petani kita. Keterbatasan alat selalu menjadi pintu kegelisahan petani.
Dari sisi ekonomi, harga sagu kering lebih menguntungkan ketimbang sagu basah. Berdasarkan wawancara saya dengan seorang petani sagu di Desa Kampung Baru Kecamatan Sabang, harga jual sagu kering per kg berada pada kisaran harga Rp 10 ribu hingga Rp 13 ribu. Coba kita bandingkan dengan sagu basah di mana harga per balabba senilai Rp 35 ribu.