Lihat ke Halaman Asli

Lukman Hamarong

Sangat sulit menjadikan aku seperti kamu, karena aku adalah aku, kamu ya kamu

Sepak Bola Harus seperti Tinju

Diperbarui: 12 Juli 2016   12:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Muhammad Ali dan Pele | Foto: Istimewa

Pesta Euro 2016 telah usai. Juara baru, Portugal, berpesta di kandang “Ayam Jantan” Prancis. Eder, pemain pengganti, tampil sebagai pahlawan lewat golnya di babak tambahan waktu. Prancis menangis. Sejarah tak berulang. Kandang “Ayam” pun berubah jadi arena adu tangis. Catatan menarik lainnya, Cristiano Ronaldo, juga harus menangis karena tak mampu menyelesaikan pertandingan akibat cedera. 

Meski demikian, tangisan Ronaldo berubah menjadi tangisan bahagia di akhir laga. Cinta “Sang Dewi” ternyata begitu tulus. Selamat buat Cristiano dkk. Hasil tersebut bisa saja membawa Cristiano meraih Ballon d’Or 2016 meski nir kontribusi di laga final. Saya punya prediksi tentang empat besar Ballon d’Or 2016, yakni Cristiano, Messi, Suarez dan Griezmann. Meski demikian, saya hadir lewat tulisan tidak untuk mengupas hasil final Euro. Saya lebih tertarik membahas adu tendangan penalti, yang pada Euro kali ini sempat terjadi sebanyak tiga kali.

Tak ada satu pun pelatih yang menginginkan timnya menyelesaikan sebuah pertandingan lewat adu tendangan penalti. Kalau bisa menang dalam waktu normal, kenapa harus menunggu waktu tambahan atau harus melewati tos-tosan adu penalti? Adu tendangan 12 pas adalah cara terakhir untuk menentukan sang pemenang sebuah laga, jika dalam waktu normal dan extra time  kedua tim bermain imbang. 

Istilah saya, tim yang menang adu penalti ibarat tim menang “arisan”. Ketika adu penalti diambil, maka sejatinya kedua tim resmi dinyatakan imbang. Itulah sebabnya kenapa gol yang dicetak lewat adu penalti tidak dicatat sebagai gol murni pemain. Hasilnya pun tidak dimasukkan dalam penghitungan gol. Hasil resmi yang menjadi acuan adalah tetap imbang. Makanya adu penalti biasanya dilakukan pada babak knockout atau sistem gugur.

Olehnya itu, karena harus ada tim yang melangkah ke babak berikutnya, ataukah menentukan sang jawara, maka mau tidak mau jalan terakhir berupa adu penalti harus diambil. Suka tidak suka,  pelatih dan pemain harus siap mengambil tugas berat tersebut. Aturan adu penalti sudah dilakukan UEFA dan FIFA sejak 1970-an. 

Dan hingga sekarang selalu dijadikan opsi terakhir untuk menetapkan sebuah pemenang. Nah, pertanyaannya, sudah adilkah aturan adu tendangan penalti diambil dalam menentukan sang pemenang? Apakah sebuah tim yang bermain baik dan menguasai jalannya laga dan unggul dalam statistik pertandingan harus kalah lawan tim yang memainkan sepak bola “negatif” dengan acara tos-tosan adu penalti?

Argentina dua kali mengalami hal menyakitkan di laga final. Final Copa America 2015 dan 2016 menjadi bukti sahih betapa opsi adu tendangan penalti tidak adil dalam sepak bola. Pun di Piala Eropa, di mana Polandia harus angkat koper akibat disingkirkan Portugal di babak perempat final. Belum lagi Italia yang tersingkir lewat jalan yang sama oleh Jerman di babak delapan besar. 

Saya pribadi paling anti dengan adu penalti. Saya lebih senang menonton sebuah pertandingan yang selesai dalam waktu normal. Ada perasaan puas karena adrenalin saya tidak harus terpacu lebih kencang dibanding saya harus menjadi saksi betapa pedihnya sebuah tim kalah lewat sebuah acara “arisan”. Kita yang menonton saja begitu tegang, apalagi para pemain dan pelatih yang notabene pelakon langsung di lapangan.  

Kalah lewat adu penalti, airmata kesedihan adalah pelampiasannya. Air mata Messi dan Buffon bisa menjadi gambaran betapa berat menerima kekalahan lewat adu penalti. Sebaliknya, menang berarti selebrasi kegembiraan yang akan tersaji. Sangat kontras kita melihatnya. Betapa berat beban yang harus diemban para eksekusi penalti dan para kiper.

Mungkin kiper tidak terlalu menjadi kambing hitam kegagalan, tapi eksekutor penalti-lah yang kerap dijadikan sasaran tembak, seperti yang dialami Messi. Padahal betapa banyak pemain bintang juga kerap gagal melakukannya, seperti Diego Maradona, Roberto Baggio, Cristiano Ronaldo dll.

Lalu seperti apa sepak bola seharusnya diselesaikan ketika kedua tim bermain imbang sepanjang 2 x 45 menit? Mungkin aturan extra time 2 x 15 menit bisa diteruskan, tapi adu penalti sebaiknya dihentikan saja. Cari cara lain agar tidak ada tim yang tersakiti secara psikologis. Ada baiknya sepak bola menerapkan aturan yang ada di olah raga tinju. Jangan salah dulu, saya tidak mengatakan para pemain bola harus beradu pukul di lapangan. Siapa yang paling banyak K.O dia-lah pemenangnya. Bukan, bukan itu. Dan pasti itu adalah cara terburuk dan akan mengakibatkan sepak bola bagaikan olah raga bar-bar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline