Lihat ke Halaman Asli

Lukman Hamarong

Sangat sulit menjadikan aku seperti kamu, karena aku adalah aku, kamu ya kamu

Masyarakat Jangan Percaya Mitos

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Tidak bisa dimungkiri, masyarakat kadang percaya terhadap hal-hal yang berbau mitos. Secara sederhana, terminologi mitos adalah sebuah informasi yang sebenarnya salah tetapi dianggap benar karena telah terdistribusi dari generasi ke generasi. Secara turun-temurun informasi itu (mitos) dijadikan sebuah kebenaran dan pembenaran dalam melakukan apa yang hendak ia kerjakan. Padahal ditinjau dari aspek ilmu pengetahuan dan pendidikan, tidak ada korelasi langsung antara mitos atau kepercayaan dengan ilmu pendidikan yang kita geluti selama ini.

Tidak terkecuali di sektor pertanian. Sudah menjadi rahasia umum, mayoritas masyarakat petani kita kerap mempercayai hal-hal yang berbau mitos. Misalnya dalam melakukan kegiatan budidaya tanaman durian. Dalam sebuah cerita yang sumbernya langsung dari petani durian itu sendiri, dikatakan bahwa terkadang ada petani kerap melakukan sesuatu di luar batas kepercayaan kita sebagai makhluk beragama. Bagaimana mungkin (maaf) “pakaian dalam wanita” digantung di pohon durian lantas bisa menghasilkan buah durian yang besar, enak, lezat dan harum? Meski pada kenyataannya durian itu memang lezat dan enak.

Namun, tahukah kita, kelezatan sebuah durian tidak dipengaruhi oleh adanya “pakaian dalam wanita” yang bergelantungan dari pohon yang satu ke pohan lainnya. Bisa saja buah durian itu menjadi besar dan lezat diakibatkan oleh perlakuan yang kita berikan sesuai dengan anjuran dalam ilmu pertanian dan mengikuti saran dan anjuran pemerintah, dalam hal ini instansi terkait. Sifat primordialisme seperti ini tidak hanya berhenti sampai di situ. Dalam sebuah cerita yang lain, yang diperoleh dari bincang-bincang dengan petugas penyuluh pertanian, diungkapkan bahwa masih ada petani yang percaya dukun ketimbang “dokter hama” dalam memberantas hama tikus.

Sebuah kejadian di mana pada sebuah hamparan areal persawahan petani diserang hama tikus yang merusak pertanaman padi. Kadang dalam proses pembasmian hama tikus ini petani masih senang menggunakan dukun dalam membasmi tikus di sawah. Padahal menurut pengamat hama, atau dokter hama, yang memang ahli dalam persoalan ini, mengatakan bahwa banyak cara ilmiah yang bisa dilakukan petani dalam memberantas hama tikus, tanpa harus pergi ke dukun. Salah satunya adalah menggunakan racun pestisida dengan menggunakan sebuah alat emposan tikus. Cara ini terbukti lebih efektif ketimbang harus pergi ke dukun yang tidak jelas kontribusi seperti apa yang dihasilkan.

Nah, ini sebuah contoh betapa masyarakat kita masih memelihara sifat primordialisme, percaya dengan hal-hal yang sangat bertentangan, bahkan menyalahi aturan ilmu pengetahuan dan akidah agama kita. Kegiatan seperti ini, jika tidak diproteksi dengan anjuran dari pemerintah akan memengaruhi masyarakat secara masif. Bahwa mitos sudah menjadi bagian dari perilakumasyarakat dari generasi ke generasi. Masyarakat pun diwajibkan untuk mengetahui hal ini agar tidak terjebak dalam kemusyrikan.

Kepala Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana Penyuluhan (BKP3) Kabupaten Luwu Utara, Marthina Simon, dalam sebuah kesempatan pernah menghimbau masyarakat untuk tidak percaya mitos atau dewa-dewa. Dia menganjurkan, sebagai manusia beragama, harus lebih percaya Tuhan, dan menaati aturan pemerintah dan mengikuti segala anjuran pemerintah dalam melakukan kegiatan di bidang pertanian, budidaya tanaman. “Keliru, kalau kalian mempercayai mitos. Kita ini manusia beragama, ada Tuhan yang wajib kita percaya. Sudahi kegiatan itu, dan mari kita ikuti aturan dan anjuran pemerintah, yang tentunya akan lebih bermanfaat karena melalui proses pengkajian, penelitiaan, berdasarkan ilmu pengetahuan, dan dilakukan oleh orang-orang yang ahli di bidangnya.” pesan bijak Marthina kepada petani Luwu Utara (Lukman Hamarong)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline