Lihat ke Halaman Asli

Marginalia

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Teriakannya tak lagi nyaring. Kini dia hanya bisa berbisik. Ya, seperti daun-daun akasia yang senang bergemerisik, seperti tawa sekumpulan anak kecil yang bermain-main di dahan besarnya, seperti kuning kunang-kunang yang bergemilangan diantara ribuan tahun usia akarnya.

Hidup hanyalah menunda kekalahan, kata penyair. Dan inilah saatnya dia benar-benar kalah. Roboh dan rebah ke tanah merah. Tanah yang merah ini adalah tempat terbaik, karena tidak pernah mengkhianati untuk menerima, baik yang mulia atau yang terhina.

Mereka yang tidak bisa menerima kekalahan, benar-benar tidak pernah mencicipi anggur kemenangan. Itu pesan terakhirnya kepada Bara Langit, sebelum mulutnya tersumpal hitam, dan tangan-kaki bebas berwacana.

Dalam ruang yang mengikat tanpa jerat, setitik cahaya berkata:

Aku hanyalah butiran-butiran bening yang bersenyawa bersama rindu,

terbang menuju Satu...


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline