Rendahnya minat pemuda untuk bertani membuat Retnosari Widowati Harjojudanto resah.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian terus berkurang. Pada 2013 jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian mencapai 39,22 juta orang. Pada 2014 turun menjadi 38,97 juta orang, dan pada 2015 37,75 juta orang. Hasil sensus pertanian pada 2013 menyebutkan, struktur usia petani di Indonesia 60,8% di antaranya berusia lebih dari 45 tahun. Artinya, jumlah pemuda yang menekuni bidang pertanian hanya sedikit.
Kondisi itulah yang membuat Retnosari Widowati Harjojudanto merasa resah. Padahal, para petani adalah tulang punggung negara dalam ketahanan pangan. "Kalau jumlah petani terus berkurang, apakah mungkin negara kita kembali swasembada pangan?" ujar Eno---panggilan akrab Retnosari.
Untuk mengatasi permasalahan itu Eno membuat program untuk mempersiapkan para petani muda agar tertarik terjun di bidang pertanian. Salah satunya melalui program pelatihan budidaya tanaman secara organik kepada para petani muda dan anggota karang taruna. Ia menyasar para pemuda sebagai langkah mempersiapkan regenerasi petani di masa mendatang.
Materi tentang budidaya organik menjadi pilihan agar para pemuda tak sekadar terjun untuk memproduksi pangan. "Dengan pertanian organik mereka juga mampu menyediakan pangan yang sehat untuk masyarakat," ujar perempuan 43 tahun itu.
Eno menyelenggarakan pelatihan itu bekerjasama dengan tim Waringin Agritech sebagai pelaksana pelatihan dan Yayasan Dana Sejahtera Mandiri (Damandiri) di Jakarta. Kegiatan pelatihan perdana berlangsung di Balai Desa Agromulyo, Kecamatan Sedayu, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Sebanyak 30 petani muda dan anggota karang taruna dari berbagai daerah, seperti dari Kabupaten Brebes, Cilacap, Boyolali, dan Magelang, keempatnya di Jawa Tengah, Indramayu (Jawa Barat), dan Kabupaten Bantul (Yogyakarta).
Dalam pelatihan itu Eno melatih para petani muda tentang teknik pembuatan pupuk dan pestisida organik. Menurut Eno, dengan menguasai teknik pembuatan pupuk organik diharapkan dapat mengurangi tingkat ketergantungan para petani terhadap pupuk dan pestisida kimia yang semakin mahal. "Mereka dapat memanfaatkan bahan organik di sekitarnya. Contohnya sampah rumah tangga, kotoran ternak, dan limbah pertanian, seperti jerami dan enceng gondok, sebagai bahan baku pupuk," ujar cucu mantan presiden Republik Indonesia, H. M. Soeharto itu. Pupuk dan pestisida organik yang mereka hasilkan nantinya dapat digunakan untuk keperluan sendiri dan juga menambah pendapatan dengan menjualnya kepada petani lain di sekitarnya.
Dalam pelatihan tersebut peserta juga belajar teknik budidaya secara organik, mulai dari persiapan lahan hingga pencegahan serangan hama tanpa menggunakan pestisida kimia. Misalnya, dengan menggunakan daun pepaya untuk mengusir hama keong mas yang memakan tanaman padi. "Jadi, dalam pelatihan ini kami ajarkan sistem pertanian organik dari hulu ke hilir," kata Pembina Waringin Agritech itu.
Dalam pelatihan itu, para petani muda mendapatkan teori di dalam kelas dan juga praktek langsung di lapangan. Eno menuturkan, setelah menyelesaikan pelatihan ini para petani muda itu akan kembali ke daerahnya masing-masing dan menerapkannya di lahan demonstrasi plot (demplot). Eno menyediakan lahan demplot masing-masing 1 ha di setiap daerah.
Dengan begitu para peserta pelatihan dapat menjadi contoh bagi para petani lain sehingga turut menerapkan teknologi yang mereka terapkan. "Saat ini sulit sekali mengubah pola pikir petani untuk beralih ke sistem pertanian organik kalau belum melihat hasilnya. Jika mereka berhasil, yang lain akan mengikuti," tutur perempuan kelahiran 10 April 1974 itu. Para petani konvensional menganggap sistem pertanian organik lebih sulit dan masa budidaya lebih lama. "Anggapan itu muncul karena mereka belum tahu cara dan sistem budidaya organik yang benar," tambahnya.