Saat berkunjung ke Aceh tahun lalu, saya bertemu dengan sepasang suami istri di sebuah warung kopi. Suaminya ternyata asal Bandung, orang Sunda seperti saya, dan istrinya orang Aceh asli. Setelah ngobrol ngalor-ngidul, sang suami bertanya ke saya apakah sudah mencicip makanan khas Aceh bernama "kuah beulangong" atau belum? Wah saya baru dengar. Saya kira hanya mi Aceh yang populer, ternyata ada makanan lain yang istimewa.
Saya yang suka berburu makanan khas daerah bila berkunjung ke berbagai kota langsung penasaran. Si bapak langsung bercerita bahwa ia terpikat sama istrinya setelah diajak makan kuah beulangong yang katanya lezat tiada tara. Setelah menikah, istrinya itu sering membuatkan kuah beulangong untuknya.
Penasaran dengan cerita bapak itu, saya langsung berburu kuah beulangong di sepanjang kota Bandaaceh. Katanya kalau mencari rumah makan yang menyajikan kuah beulangong pasti menempatkan kuali atau belanga besar di depan rumah makannya. Kuali itulah wadah untuk membuat makanan kuah beulangong. Nama beulangong itu sendiri ternyata berarti belanga atau kuali besar, biasanya terbuat dari tanah liat.
Setelah berjalan beberapa menit, saya akhirnya singgah di sebuah rumah makan yang di depannya memajang belanga. Ternyata betul. Rumah makan itu menyediakan kuah beulangong. Saya pun pesan seporsi, lengkap dengan nasi dan teh tawar hangat. Tak lama kemudian sang pemiling warung menuangkan kuah beulangong dari belanga yang sudah menghitam itu. Dari aromanya tercium aneka rempah yang kuat.
Kuah beulangong itu terbuat dari daging sapi dan nangka muda. Katanya bisa juga menggunakan daging kambing atau kerbau. Beberapa rumah makan biasanya juga menambahkan pisang kepok muda sebagai sayuran selain nangka muda. Begitu dicicip, rasanya memang gurih dengan cita rasa rempah yang kuat, mirip gulai khas rumah makan padang. Namun, kuahnya tidak sekental gulai. Ternyata kuah beulangong tidak menggunakan santan. Gurih kuahnya berasal dari kelapa parut yang disangrai.
Pantas saja aroma sangrai kelapa itu begitu kuat tercium sehingga tambah membangkitkan selera. Pantas saja bapak yang bertemu saya itu sampai kepincut sama perempuan Aceh yang pandai memasak kuah beulangong. Rasanya memang lezat dan gurih, dengan aroma rempah dan sangrai parutan kelapa yang khas. Selama berada di Aceh, hampir setiap hari makan dengan kuah beulangong. Mumpung masih di Aceh, soalnya di Jakarta tidak ada yang jual.
Ternyata kuah beulangong tak hanya mempertemukan sepasang suami-istri yang saya temui di kedai kopi. Dalam budaya Aceh kuah beulangong adalah simbol pemersatu rakyat Aceh. Disebut demikian karena masakan itu wajib hadir dalam setiap kegiatan yang melibatkan banyak orang, seperti acara syukuran, buka puasa bersama, hajatan, hari Raya Idul Fitri, dan Idul Adha. Tak hanya saat menyantapnya saja dilakukan berasama-sama, tapi juga saat membuatnya. Para warga bergotong royong membuat kuah beulangong mulai dari menyiapkan bahan hingga memasaknya. Jadi, jangan lupa mencicip kuah beulangong bila sedang berkunjung ke daerah berjuluk Serambi Mekah itu.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H