Lihat ke Halaman Asli

Imam Wibisono

Menulis adalah mencatatkan sejarah

Tawuran dan Pelajar Salah Arah

Diperbarui: 24 Juni 2015   23:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pelajar kembali bergejolak dan turun ke jalan, namun kali ini bukan dalam rangka aksi menentang rezim yang korup. Mereka turun ke jalan untuk saling baku hantam dengan rekannya sesama pelajar, saling serang dan unjuk kekuatan dalam panggung yang bernama tawuran.

Semakin hancur saja citra para pemuda yang dahulu dianggap sebagai harapan bangsa ini. Stigma negatif semakin tersemat kuat akibat banyaknya aksi anarkisme yang terjadi di kalangan pelajar akhir-akhir ini. Para provokator yang hanya segelintir orang telah sukses mengubah citra para intelektual muda ini menjadi penjagal beralmamater sekolah / kampus.`

Jakarta, kota yang terakhir jadi sorotan karena tingkat aksi tawurannya yang tinggi. Kota yang baru saja mendapatkan pemimpin baru di akhir September lalu ini dihebohkan dengan berita tawuran yang terjadi beruntun di beberapa sekolah. Tak tanggung-tanggung tawuran yang terjadi antar sekolah ini memakan tumbal. Alawy siswa kelas X SMA negeri 6, dan Dedy Yanuar siswa SMA Yayasan Karya, harus meregang nyawa dalam drama pengecut yang digelar di dua tempat yang berbeda. Yang satu di daerah Bulungan, satu lagi di Manggarai Jakarta Selatan. Kasus ini bukan hanya terjadi di Jakarta, namun karena Jakarta adalah ibukota negara maka kasus yang terjadi ini menjadi sorotan nasional.

Para pengamat mulai menyoroti dengan serius, apa yang salah dengan sistem pendidikan di Indonesia ? Realisasi dari model pendidikan di Indonesia mulai banyak dipertanyakan. ‘Pendidikan Karakter’ yang dulu digadang-gadang bakal membentuk manusia beradab perlu dievaluasi keefektifannya. Status RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional) atau bahkan sudah SBI (Sekolah Bertaraf Internasional) juga perlu ditinjau ulang. Faktanya banyak sekolah yang sudah bertaraf internasional, tapi siswanya masih menyelesaikan masalah sepele dengan kekerasan. Tentunya bukan ini yang diharapkan dari ide standarisasi tersebut kan ?

Suatu hal yang lumrah ketika ada masalah akan dicari ‘kambing hitamnya.’ Kemendiknas yang akhirnya jadi sasaran. Wakil pemerintah yang bertugas mengurusi sektor pendidikan ini jadi bulan-bulanan di media dan berbagai forum lainnya karena dianggap gagal mengurusi pendidikan di Indonesia.

Wacana yang unik pun bermunculan dari para pengamat, mulai dari ganti pejabat di kementeriannya, rombak kurikulumnya, buat aturan atau undang-undang yang ketat, sampai tingkatkan alokasikan anggaran untuk cegah tawuran. Wacana yang menurut saya reaktif dan ‘kreatif’. Memang yang paling mudah ialah menyalahkan sistem, Pertanyaannya, apakah jika semua itu terealisasi tawuran dapat hilang dari muka bumi Indonesia ?

Dalam memahami tawuran, maka kita harus kembali ke akar permasalahannya. Secara definisi tawuran adalah keributan, kericuhan, dan perkelahian yang dilakukan secara beramai-ramai, biasanya dilakukan oleh dua kelompok besar yang bertikai. Tawuran yang dialami pelajar disebabkan oleh masih tingginya egoisme mereka dan sedikitnya wawasan dalam menyikapi masalah. Jika kita pernah mengusut, banyak dari tawuran bermula karena ketersinggungan saat bertatapan dengan pelajar lain di jalan, karena rebutan pacar, ataupun  karena ada pelajar yang dipalak oleh pelajar dari sekolah lain. Semua hal ini dilandasi oleh ego dan  premanisme yang terbungkus kesetiakawanan.

Penyelesaian masalah yang dilandasi ego ini yang harus diluruskan. Bukan semata mengutak-utik peraturan dan kurikulum sekolah, pendampingan dan kontrol terhadap perkembangan kedewasaan siswa di sekolah juga harus dilakukan. Kedewasaan dapat dibentuk dengan cara menanamkan nilai-nilai agama dan keadaban dalam setiap jenjang kelasnya. Hal ini tentunya bukan sekedar teori di kelas yang hanya dua jam, namun juga harus diinternalisasikan dalam kehidupan sehari-hari lewat praktek nyata.

Memberikan perhatian lebih terhadap pendampingan dalam proses belajar dan perkembangan siswa akan lebih baik daripada harus menaikkan anggaran untuk mengubah kurikulum atau memperketat aturan yang membuat siswa merasa tertekan.

Akhirnya kembali pada hakikat pendidikan yang dicanangkan oelh Ki Hajar Dewantara : “Cipta, Rasa, dan Karsa.” Mengembalikan pendidikan atas dasar agama, akhlak, dan budi pekerti menjadi sebuah solusi yang patut dicoba, bukan sekedar teori namun sebuah realisasi. Sesuatu yang mungkin sering terlupakan oleh petinggi bangsa ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline