Lihat ke Halaman Asli

Lima Coretan Tentang Kematian

Diperbarui: 26 Juni 2015   00:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

1.Mimpi

Dulu, sewaktu aku masih kecil, aku ingin sekali berubah menjadi ular sawah. Mendesis, menyelesup ke celah jendela, lalu menakut-nakuti orang yang selama ini aku benci. Bahkan, terkadang aku ingin membunuh mereka dengan gigitan dan bisaku.

Hari itu, Kamis malam, tiba-tiba aku bermimpi aneh. Aku berubah menjadi ular. Persis seperti yang pernah aku inginkan dulu. Aku berada di sebuah kamar yang tak asing lagi bagiku. Ya, itu kamar orang yang selama ini aku benci. Orang yang pernah memperkosaku.

Kulihat ia sedang tidur. Pelan kumenyelusup ke dalam selimutnya. Kugigit kemaluannya. Ia menjerit, lalu melemparku. Saat itu juga aku terbangun dari mimpiku.

Keesokan harinya, seisi rumah gempar. Papa meninggal, dengan darah di sekitar celananya.

2.Ulang Tahun Karin

“Sayang, tahun depan, tepat di usiamu yang ke-21, mungkin aku baru bisa bertemu denganmu lagi di café ini. Besok aku harus kembali ke Swiss lagi,” ucap Tio kepada pacarnya, Karin, sesaat sebelum mereka berpisah.

***

Sore ini, Karin terlihat cantik sekali dengan gaun putihnya. Ditemani dengan segelas jus jeruk, ia duduk sendirian di Café Horizon. Hari ini ia ulang tahun yang ke-21. Dan pacarnya, berjanji akan menemuinya di café ini.

Jam sepuluh malam. Ia masih sendirian di meja nomor 17.

“Mba, sebentar lagi café akan tutup. Mba belum pulang?” Tanya seorang pelayan.

“Bentar, Mba. Tunggu satu jam lagi.”

Satu jam berlalu. Dan Tio belum juga datang. Dengan rasa kesal dan pipi penuh air mata, Karin pun pulang. Tapi naas, tepat di depan café, sebuah mobil menabraknya. Sedetik sebelum terpejam, ia teringat jika pacarnya telah meninggal dua bulan yang lalu.

3.Pelacur Taman Kota

Malam itu, mungkin malam paling gila bagiku. Tiba-tiba saja aku ingin sekali memperkosa seorang wanita muda. Tepatnya wanita yang sering duduk di taman tengah malam. Namanya Mawar. Orang-orang sering memanggilnya sebagai pelacur taman kota.

Jam 10 malam. Aku sudah merencanakan sesuatu. Ia aku cegat saat hendak ke taman. Tubuhnya yang seksi, segera aku seret ke semak-semak. Dengan sisa alkohol di mulutku, aku pun melumat bibirnya. Ia teriak, mencoba memberontak saat aku hendak melepas bajunya.

“Diam kau pelacur!”

Aku yang saat itu tengah mabuk, tak sengaja menghantamnya dengan batu. Ia diam. Tak bernyawa.

Tak tahu akan aku apakan jasadnya, kupotong saja tubuhnya.

Saat hendak kupotong tangannya, kulihat sebuah cincin emas di jarinya. Kuamati cincin itu. Ada tulisan Mawar di sisinya. Persis seperti cincin anakku, Mawar Rosiana. Ia telah hilang 20 tahun yang lalu.

4.Pembunuh Bayaran

Sore itu, kau terlihat aneh. Tak seperti biasanya kau keluar rumah. Menyapu halaman, lalu memangkas pohon.

“Tumben rajin,” tanya seorang tetangga.

“Iya, lagi pengen aja,” jawabmu sambil tersenyum kecil.

Malamnya.

“Mas, mau ke mana? Disuruh cari mangsa lagi?”

“Iya, paling shubuh juga pulang.”

“Nggak takut dosa, Mas?”

“Ah, ngapain mikirin dosa? Toh tinggal taubat, dosa kita sudah terhapus. Gampang kan?”

“Tapi, Mas…”

“Ah, sudahlah. Aku mau berangkat dulu.” potongmu sambil mengambil golok dan sarung. Lalu pergi.

Di samping jalan, kulihat kau tengah bersembunyi saat sebuah mobil melintas.

“Matilah kau!” Ucapmu sambil melompat ke arah mobil itu.

Mobil oleng. Lalu berhenti.

“Keluar! Serahkan mobilnya!”

Sebuah golok kau todongkan padanya. Pemilik mobil itu keluar. Ia menjerit, sebelum kau tebas lehernya.

Takut identitasnya ketahuan, kau bergegas memotong tubuhnya menjadi tiga bagian: leher, badan, dan kaki.

Mendadak kau terlihat panik saat mendengar suara sirine mobil patroli. Dengan tergesa-gesa, kau masukkan potongan tubuh itu ke dalam karung. Lalu membuangnya.

Esoknya, istrimu kaget. Menemukan kau tak bernyawa, dengan tubuh terbagi tiga di dalam sebuah karung.

5.Panggilan Tengah malam

“Hallo, bisa keluar sebentar? Aku sedang di depan rumahmu!”

“Ini siapa?”

“Sudah keluar saja!”

“Tapi… Hallo! Hallo!” Belum selesai bicara, ia menutup teleponnya.

“Dasar orang aneh. Nelpon kok tengah malam kaya gini,” ucapmu sambil menarik selimutmu kembali. Kau pun kembali tidur tanpa memperdulikan penelpon tadi.

Baru lima menit tidur, mendadak ponselmu kembali berdering. Orang yang sama menelponmu kembali.

“Apa?” tanyamu penuh emosi.

“Kenapa kau tak keluar? Di luar hujan. Aku kedinginan. Cepat buka pintunya!”

Karena penasaran, kau pun keluar kamar. Sebuah senapan tak lupa kau bawa untuk berjaga-jaga.

Pintu kau buka. Kau kaget saat mengetahui di luar tak ada siapa-siapa. Hanya ada sebuah kardus di depan pintu.

Pelan kau angkat kardus tersebut ke dalam rumah.

Saat kau buka kardus itu, kau tak percaya akan isinya: beberapa potongan tubuhmu dan sebuah surat.

“Ini aku, tubuhmu sendiri.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline