Lihat ke Halaman Asli

Imam Suyudi

the soldier of fortune

Janggut Putih yang Belum (juga) Menjuntai

Diperbarui: 24 November 2024   08:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humor. Sumber ilustrasi: PEXELS/Gratisography

Menjadi baik adalah ajaran dari setiap agama agar bisa menikmati kesempurnaan hidup di sorga kelak; sorga sesuai versi masing-masing agama tentunya. Seperangkat aturan difirmankan melalui kalam-kalam ilahi yang menyuruh umat manusia mematuhi agar bisa masuk ke sorga yang dijanjikan. Manusia mematuhinya dengan ketaatan yang sulit dipahami hingga memunculkan jargon keimanan yang konon adalah musuh ilmu pengetahuan atau predikat candu seperti yang disematkan Karl Marx; Die Religion ... ist das Opium des Volkes seturut terjemahan bebasnya namun secara komprehensif, sebenarnya Marx tidak menganggap agama sebagai opium yang memabukkan tapi merujuk sebagai sarana meringankan beban hidup manusia. Pun hal dengan Augusto Comte pencetus positivitis; segala hal harus empiris sehingga agama dalam arti kepercayaan kepada adanya Tuhan, Dewa, dan sebagainya adalah usang karena keyakinan beragama seperti itu berada pada tingkatan paling awal pemikiran manusia sebelum dikeruhkan oleh metafisika, lalu dicerahkan oleh hukum-hukum positif.

Maaf, saya bukan setuju dengan statement itu---bahkan sama sekali tak sepakat. Tapi sejujurnya, saya tidak membenci lalu melabeli pemikiran mereka dengan jargon-jargon tertentu. Ideologi itu mungkin muncul dari pengalaman kekecewaannya terhadap kehidupan dan kaidah keberagamaan, seperti misalnya Margaret Mead yang mencetuskan ideologis nurture feminisme akibat---konon---tiga kali kegagalannya dalam perkawinan. Karena toh diakhir hayatnya, Augusto Comte mengakui bahwa agama adalah hadiah terindah yang Tuhan berikan untuk manusia. Sayangnya, ia bikin 'agama baru' bukan masuk ke salah satunya.

Tingkat kepatuhan manusia terhadap firman-firman Tuhan, konon menentukan bagaimana tahap manusia tersebut dalam menggapai sorgaNya. Maksudnya, manusia dengan simbol-simbol tertentu maka bisa disimpulkan dialah orang yang patuh, orang saleh sehingga bisa lebih mudah masuk ke sorgaNya. Maka, akan ada orang saleh kebanyakan (umum, biasa); orang sangat saleh hingga saleh tingkat tinggi. Semakin tinggi, semakin mudah sorga untuknya.

Apakah simbol-simbol itu mengejawantahkan hati, otak, sikap, dan perilaku yang saleh karena berharap kasih sayangNya untuk masuk ke sorgaNya? Waallahu 'alam bisawab.

Hingga kini, sayangnya, tidak ada alat ataupun seperangkat alat yang bisa mengukur tingkat kepatuhan manusia terhadap ajaran masing-masing agamanya, seumpama alat sensor suhu era corona; niit wah orang saleh nih liat tuh tinggi kata petugas pengukur atau wah ini mah orang bangsat masa' angkanya gak bergerak saat dites. Duuh, kalo alat itu benar ada, mungkin jumlah penduduk dunia tak sepadat saat ini karena warganya selalu berkurang akibat saling baku bunuh!

Saya muslim dan saya tidak tahu bagaimana umat lain mendefinisikan kesalehan pengikutnya. Agama Islam menganjurkan untuk memelihara janggut sebagaimana disunnahkan oleh Nabi Muhammad SAW. Penelitian ilmiah juga menunjukkan banyak faedah dari memelihara janggut karena itulah kenapa Rasul menyuruh umatnya memelihara janggut. Apakah memelihara janggut wujud dari kesalehan? Mungkin iya mungkin juga tidak karena faktanya, banyak pemuka agama Islam yang memelihara janggut dan sebaliknya umat nonmuslim juga memelihara janggut dengan cambang lebat baik hitam ataupun perak memutih. Tak sedikit pula yang menjadikan janggut sebagai aksesoris. Tak ayal, Shavo Odadjian pembetot bass dan Daron Vartan Malakian gitaris grup System a Dawn menguncir lancip janggut menjuntainya.

Saya pun berjanggut dan hampir dua tahun memeliharanya; janggut putih perak yang menjuntai dari dagu ke bawah meski panjangnya serupa bekicot merangkak; lama 'kali panjangnya. Saya pelihara untuk pengingat janji perbaiki diri dan pengingat diri kalo usia udah di atas 5oan.

Secara keturunan pun saya wajib berjanggut karena bulu-bulu di sekujur tubuh bapak lumayan lebat; mulai dari kumis cambang brewok bulu dada hingga bulu idungnya yang sering keluar namun satu hal yang disesali, justru tak tumbuh bulu di kepala alias gundul separuh; cepak ngehe kata orang Bekasi.

Beda dengan bapak, rambut saya justru lebih disebut gundul ketimbang cepak ngehe setengah botak. Lainnya sama, kumis cambang brewok bahkan bulu kumis yang sering masuk idung dan bikin gatel dan nikmat dicabutin saat kepala puyeng. Coba deh. Anda akan bersin---bisa berulang hingga keluar lendir dan setelah itu puyeng ilang...

Saat era 50an ke bawah saya sering menghabisi bulu-bulu itu hingga klimis tuntas untuk tampilkan wajah awet muda menggoda. Pernah istri nyuruh miara kumis kalo mo jalan, kuatir dikira tante girang jalan ama brondolan, katanya. Tapi di atas 50an, saya menyayangi si janggut, seperti istri yang juga menyukai karena; geli-geli gimana gitu kalo dielus-elus, pake tangan maksudnya.

Janggut putih yang belum menjuntai. Tak disemir dan sering dielus-elus sedikit menarik agar lekas panjang saat tengah merehatkan diri. Banyak hal positif saya dapat dari pemelihara janggut. Pernah diminta mengimami shalat di mesjid saat perjalanan. Alhamdulillah meski harap-harap cemas dengan bacaan tajwid dan makhraj tapi bisa lah, hanya doa setelah shalat saya minta orang yang lebih paham untuk memimpin.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline