Lihat ke Halaman Asli

Imam Subkhan

Author, public speaker, content creator

Setiap Guru adalah Penggerak

Diperbarui: 1 Desember 2021   05:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi oleh Imam Subkhan

Ingar-bingar peringatan hari guru nasional tahun ini sudah berlalu. Namun tampaknya masih menyisakan pekerjaan rumah, terutama persoalan mutu guru. Dalam kesempatan ini, penulis sengaja mengangkat tulisan berjudul "Setiap Guru Adalah Penggerak", karena tergelitik untuk ikut nimbrung dalam dialektika Program Guru Penggerak yang saat ini tengah bergulir dan ramai diperbincangkan oleh masyarakat, terutama di kalangan guru. Program ini diklaim oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Makarim, sebagai sebuah terobosan strategi transformasi pendidikan, terutama dalam meningkatkan kapasitas dan kompetensi guru-guru di Indonesia secara cepat, efektif, dan merata. Pertanyaannya, apakah program ini nantinya bisa terwujud sesuai target yang diharapkan? Atau hasilnya tak jauh berbeda dengan program-program sebelumnya? Waktulah yang akan menjawabnya.

Sebagaimana yang digaung-gaungkan selama ini, ada harapan setinggi langit yang disematkan pada guru penggerak, yaitu menjadi pemimpin pembelajaran yang mendorong tumbuh kembang murid secara holistik, serta aktif dan proaktif dalam mengembangkan pendidik lainnya. Hal ini juga membawa dampak pada jenjang karier seorang guru ke depannya. 

Jika guru ingin memegang kendali dalam kepemimpinan pendidikan, seperti menjadi kepala sekolah, pengawas, instruktur pelatihan guru, serta jabatan-jabatan strategis lainnya, maka dia harus menjadi guru penggerak terlebih dahulu. Luar biasa bukan? Maka tak heran, animo guru-guru untuk mendaftarkan diri cukup tinggi, tetapi sayangnya tidak semua bisa terpilih.

Model penyeleksian dalam program guru penggerak dilakukan secara ketat dan bertahap, mulai dari pengumpulan data diri guru secara komprehensif, tes tertulis, tes simulasi mengajar dan wawancara, sampai dengan mengikuti program pendidikan selama 9 bulan. Mulai dari tahap penjaringan hingga pelatihan, sebagian besar dilakukan secara daring atau memanfaatkan perangkat digital dan internet. 

Secara otomatis, guru-guru yang lolos seleksi menjadi guru penggerak, adalah mereka yang melek teknologi dan terdukung oleh fasilitas yang memadai, seperti ketersediaan jaringan internet yang cukup. 

Lalu bagaimana dengan guru-guru yang tidak menguasai teknologi informasi dengan baik? Atau guru yang memiliki keahlian tersebut tetapi tidak terdukung oleh fasilitas yang menunjang? Bisakah mereka lolos seleksi? Bisa jadi, sekadar mengisi formulir pendaftaran saja mereka akan kesulitan, apalagi mengikuti tahapan berikutnya sampai dengan menempuh program pendidikan selama berbulan-bulan.

Elitis dan Eksklusif

Inilah yang sebenarnya menjadi kritik pertama terhadap program guru penggerak. Program ini dianggap bersifat elitis dan eksklusif, karena masih menerapkan model seleksi secara ketat. Seolah-olah, program ini hanya bisa diakses oleh guru-guru dengan kualifikasi tertentu, meskipun dibuka secara umum. Sementara kuota yang disediakan pun tidak banyak. Sejak digulirkan pada pertengahan tahun 2020 sampai dengan angkatan ke-5 saat ini, telah terjaring 24.400 guru penggerak. Dan ditargetkan hingga tahun 2024 terdapat 405.900 guru penggerak di seluruh Indonesia.

Padahal jumlah guru di Indonesia saat ini, berkisar 3,7 juta, baik yang berstatus pegawai negeri sipil maupun swasta. Maka keberadaan guru penggerak hanya 10 persennya dari seluruh jumlah guru di Indonesia. Pertanyaannya, mampukah 10% guru penggerak ini menggerakkan 90% guru lainnya? Selanjutnya bisakah mereka menjadi agen katalisasi transformasi ekosistem pendidikan di Indonesia? Atau justru program ini hanya akan membawa kesenjangan yang semakin mengaga di kalangan guru?

Program guru penggerak bisa menjadi pemicu polarisasi dua kutub guru yang berbeda bahkan berlawanan, yaitu kutub guru penggerak dan kutub guru bukan penggerak, atau dilihat secara program pendidikannya, yaitu kutub guru yang terdidik dan kutub guru yang tidak terdidik. Hal ini pun sebenarnya berkelindan dengan gebrakan Nadiem Makarim sebelumnya, yang merupakan rangkaian program Merdeka Belajar, yaitu program Sekolah Penggerak dan Organisasi penggerak. Bahkan program ini di awal-awal telah terjadi kontroversial, terutama pada tahapan seleksi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline