Lihat ke Halaman Asli

Imam Subkhan

Author, public speaker, content creator

Ma'ruf "Kiai Ingin Modern" vs Sandiaga "Pedagang"

Diperbarui: 18 Maret 2019   11:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Kompas

SAYA sebenarnya malas untuk berkomentar tentang politik, termasuk hasil debat cawapres semalam (17/3/2019). Karena bagi saya, debat semalam tak banyak memengaruhi apa-apa, termasuk elektabilitas calon. Mayoritas pemilih Indonesia, hari ini sudah menentukan pilihannya, dilatarbelakangi oleh ideologi, prinsip keagamaan, cara pandang politik, dan pengaruh atau doktrin lingkungan sekitarnya. Mereka sudah fanatik terhadap pilihannya. Apa pun kata calonnya harus didukung dan dibela mati-matian.

Tetapi, saya ingin berkomentar sedikit tentang penampilan cawapres semalam, dan sedikit pula ke substansi persoalan. Maklum, ada beberapa teman yang tanya ke saya. "Gimana nih Bang Imam komentarnya atas debat semalam?" Akhirnya terpaksa deh, saya ulas sedikit di bawah ini. Sengaja saya buat poin-poin, supaya mudah untuk dibaca dan dipahami.

1. Saya sudah mengira, bahwa debat semalam akan banyak dikuasai oleh Sandiaga, yang notabene seorang anak muda, cerdas, berpendidikan, dan berlatar belakang pengusaha. Secara durasi pun, terutama pada sesi debat bebas, dialah yang mendominasi. Dia paham betul tentang teknik-teknik public speaking yang baik. Dan dia ahli betul bagaimana mengolah struktur kalimat dan menarasikannya menjadi bahasa marketing yang menarik. Di awal selalu disajikan data atau fakta, misalnya menyebut nama atau sebuah peristiwa, kemudian dideskripsikan sesuai cara pandangnya, barulah menggiring opini publik dengan program kerjanya, yang seolah-olah menjadi kebutuhan masyarakat sekarang. Gampangnya, saya menyebut Bang Sandi, sebagai "pedagang" yang sukses dalam memainkan kata dan diksi untuk memengaruhi calon pembeli, dalam hal ini pemilih. Dia pun berhasil menjaga "trademark" sebagai calon pemimpin yang muda, pintar, dan santun. Bahkan mohon maaf, saya menyebut Bang Sandi tampaknya lebih cocok jadi calon presidennya dari pada Pak Prabowo. Bahkan beberapa program kerja yang disebut semalam, tak pernah terlontar dari Pak Prabowo sebelumnya. Jadi seolah-olah, Bang Sandi memiliki dunianya sendiri dan memainkan perannya yang sangat menonjol.

2. Berbeda dengan Kiai Ma'ruf, yang karena usianya sudah tak muda lagi, dan dipengaruhi pula kultur di pesantren dan lingkungan NU, tentu tak paham soal strategi marketing dan pencitraan. Tak heran jika beliau cuek saja ketika membaca teks dalam melontarkan pertanyaan ke Bang Sandi. Beliau ingin menunjukkan, "Inilah kiai, ya seperti ini gayanya." Sehingga apa yang disampaikannya cenderung monoton, lugas, apa adanya, dan selalu mengaitkan dengan dalil keagamaan. Tetapi saya melihat, Pak Kiai tampak tenang, pandangannya teduh, dan tidak ada keinginan untuk menyerang bicara lawan. Padahal kultur di pondok, seorang kiai itu memiliki otoritas tertinggi baik secara keilmuan maupun ketokohan, sehingga para santri begitu tunduk dan patuhnya pada kiai. Apa pun yang dikatakan kiai, apalagi menyangkut agama, santri tak akan berani menyanggah, apalagi menentangnya. Nah ini, yang ditakutkan semalam, jika Kiai Ma'ruf memperlakukan Sandiaga seperti santri, yang harus patuh dan menurut. Tetapi nyatanya tidak, Pak Kiai bisa mengendalikan keadaan dan tetap menghormati Sandiaga sebagai anak muda yang pintar dan calon pemimpin masa depan. Dan di pernyataan penutup, menurutku sangat keren. Pak Kiai menyadari, bahwa usianya sudah tak muda lagi, namun jika Allah mengizinkan untuk memimpin bangsa, maka beliau akan sungguh-sungguh untuk mengabdi dan bekerja untuk negara dan bangsa. Beliau pun mudah diberi masukan oleh orang lain dan mau terus belajar tentang perkembangan dunia saat ini. Maka dalam debat semalam, seringkali beliau memunculkan istilah digital, cyber, startup, infrastruktur langit, dan sebagainya. Ya bisa dibilang, Pak Ma'ruf sebagai "kiai ingin modern".

3. Secara substansi, ada hal yang menarik dari debat semalam, terutama di bidang pendidikan. Sandiaga melontarkan gagasan tentang penghapusan ujian nasional (UN). Sungguh saya "sangat setuju" dengan usulan ini. Beberapa kali, saya menulis artikel tentang UN dan kelemahan-kelemahannya, dan saya termasuk penentangnya dari dulu. Namun sayangnya, Bang Sandi tidak cukup bisa mengelaborasi argumen atau alasan secara konseptual dan paradigma keilmuan, mengapa UN harus dihapus. Namun lebih pada alasan anggaran yang tinggi. Padahal untuk penyelenggaraan UN akhir-akhir ini, biayanya sudah jauh berkurang dibandingkan dengan pelaksanaan UN sebelumnya. Dalam hal ini, harusnya Bang Sandi lebih belajar lagi kepada Anies Baswedan, sebagai pakarnya pendidikan yang humanis dan substantif.

4. Sekali lagi, debat cawapres semalam, tak banyak berdampak pada elektabilitas calon. Pemilih saat ini telah menentukan pilihannya. Debat semalam hanya untuk bumbu-bumbu dalam menyanjung calon dan menyerang kelemahan lawan. Tak lebih dari itu. Ada juga yang mengklaim, bahwa banyaknya sambutan massa yang hadir dalam kampanye calon di daerah-daerah, menjadi ukuran dukungan dan elektabilitas calon di masyarakat. Padahal tidak tepat selamanya. Rata-rata massa yang hadir di kampanye adalah massa fanatik, militan, terdidik, punya waktu longgar, dan pertimbangan ada tidaknya uang pengganti transpor. Sejauh apa pun lokasinya, dia tetap akan berangkat. Apalagi ketika sudah ada doktrin-doktrin jihad dan memerangi musuh Islam. Oleh karena itu, betapa riuhnya sambutan massa ke calon, tetap saja jauh lebih banyak massa yang di rumah atau bekerja, yang lebih suka mengamati dan jadi penonton. "Termasuk saya, he he he." Saya sejak dulu tak tertarik untuk datang ke kampanye. Meskipun saya sudah punya pilihan. Wallahu'alam.

#debatcawapres #pilpres2019 #kiaimaruf #sandiagauno




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline