Lihat ke Halaman Asli

Imam Subkhan

Author, public speaker, content creator

Seolah-olah Kita yang Pegang "Kunci" Surga Itu

Diperbarui: 8 Desember 2016   11:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Alquran surat Al Hujurat ayat 11 | dokumen pribadi

Jika kita amati media sosial saat ini, sungguh telah terjadi polarisasi pemikiran dan gerakan yang begitu dahsyat, yang pada akhirnya mengerucut pada dua kubu yang saling berlawanan, yang pemantiknya sesungguhnya bersumber dari kasus dugaan penistaan agama oleh Ahok. Berbagai pernyataan, komentar, tanggapan, pendapat, bahkan yang dikemas berupa meme sekali pun, selalu berujung pada pro dan kontra tentang Ahok. Tetapi jika kita runut secara historis, sesungguhnya polarisasi itu menuju pada dua pemahaman, pemikiran, keyakinan dan gerakan, yakni moderat dan radikal-fundamental. Tulisan singkat berikut, merupakan renungan saya di pagi hari, tatkala membuka-buka facebook dan memperhatikan status dan komentar orang-orang di sana, dengan ditemani secangkir Teh Gardu, yang pabriknya tak jauh dari rumah saya, yaitu di daerah Jaten, Karanganyar, Jawa Tengah. Kemudian, tanpa sadar jari-jari saya mulai mengetikkan huruf demi huruf, kata demi kata, kalimat demi kalimat, dan inilah selengkapnya rangkaian kata-kata itu.

--INILAH mahalnya sebuah keyakinan, martabat, harga diri dan suara hati nurani yang dimiliki oleh setiap manusia. Setiap hembusan nafas, suara mulut, sikap, perilaku, pendirian, pola pikir dan pendapat, baik lisan maupun tulisan akan bersumber dari sebuah keyakinan dan nurani. Dan keyakinan dibangun oleh sejarah masa lalu orang tersebut, bisa karena hasil didikan keluarga, guru di sekolah, dosen di perguruan tinggi, guru ngaji, interaksi dengan teman, organisasi kemasyarakatan atau keagamaan yang diikuti, garis perjuangan partai politik yang dianut, termasuk televisi yang ditonton. 

Sehingga apa yang di-like, di-share dan status yang diunggah di media sosial adalah cerminan dan representasi dari keyakinan setiap individu. Oleh karena itu, jika keyakinan yang sudah berurat dan mendarah daging tersebut dicoba-coba untuk diserang, dikritik, dihina dan direndahkan oleh orang yang tidak sepaham dengan keyakinannya, tentu akan tersinggung dan marah. Itulah naluri dan sifat alamiah manusia.

Dan begitulah gambaran yang terjadi saat ini. Setiap orang saling menyerang untuk mengunggulkan keyakinannya masing-masing, termasuk bicara kebenaran dalam beragama. Seolah-olah hanya dia yang pegang kunci surga, sementara yang tidak sepaham dengan keyakinannya adalah sesat dan neraka. Padahal, kita bisa masuk surga semata-mata karena rahmat-Nya, kasih sayang-Nya dan ampunan Allah SWT, bukan semata-mata amal kita. Dan yakinkah kita, yang merasa "ahli surga" ini, ketika ajal menjemput, kita mampu mengucap kalimat laa ilaa ha illallaah, atau meninggal dalam keadaan husnul khatimah? 

Dan betapa banyak kisah, seseorang yang dulunya kafir, ahli maksiat, menentang Islam, bahkan memusuhi nabi dan 'ulama, tetapi hidupnya berakhir dengan indah, yakni beriman kepada Allah SWT. Saya jadi teringat dengan nasihat seorang Habib, pada saat kajian di masjid dekat rumah saya belum lama ini. Beliau mencontohkan akhlak mulia Rasulullah dalam berdakwah yang begitu mudah untuk memaafkan kesalahan atas kesengajaan dan ketidaktahuan kaum yang lain. 

Tetapi dengan sifat pemaaf Nabi inilah, orang-orang yang dahulu menjadi musuh Islam, malah justru berbalik, menjadi pembela Nabi dan dakwahnya. Dan salah satu ketinggian akhlak pemaaf Nabi tatkala peristiwa Fathu Mekah, dimana pasukan Islam berhasil menguasai Kota Mekah tanpa ada pertumpahan darah, dan Nabi menjamin keamanan semua penduduk Kota Mekah yang dahulu memusuhinya, baik harta maupun jiwa. 

Mungkin ini yang dikatakan oleh salah satu 'ulama besar, "jangan-jangan dakwah kita dipenuhi oleh ego dan rasa benci", terutama terhadap keyakinan dan pemahaman yang berbeda dari kita. Hal ini jelas berbeda dengan Rasul, beliau berdakwah dengan kesantunan, hikmah, kasih sayang, cinta dan begitu menghargai martabat orang lain. Karena keimanan tidak bisa untuk dipaksakan, tetapi murni kewenangan dan hidayah dari Allah SWT. Bahkan Nabi pun tak kuasa untuk mengislamkan pamannya sendiri, sebut saja Abu Lahab dan Abu Thalib. 

Jadi kesimpulannya, marilah kita saling menghargai keyakinan dan nurani orang lain. Jangan tebarkan kebencian, apalagi sesama muslim. Jangan paksakan orang lain untuk berpikir, bersikap, berkata dan berperilaku sama dengan Anda. Kita semua sama-sama sedang berproses untuk menjadi orang saleh, tetapi kita tidak pernah tahu bagaimana akhir dari hidup kita. Apakah kita layak untuk disalatkan ketika sudah meninggal, atau langsung dikubur begitu saja, atau bahkan dibuang ke tengah-tengah hutan, dan membiarkan para binatang buas mencabik-cabik tubuh kita. Terpenting saat ini dan seterusnya, MARI "BICARA" (LIKE, SHARE, STATUS) BAIK ATAU KITA DIAM.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline