Sebelumnya, tak usah baper dulu ya para netizen! Payung yang saya punya bukanlah payung yang dipakai Jokowi. Hanya kebetulan agak besar dan warnanya biru. Payung ini saya beli di daerah Nonongan Solo, dengan harga 40 ribu. Tentu dari kualitas bahan dan harga, akan sangat jauh berbeda dengan payung Jokowi. Ulasan saya ini memang sedikit terlambat dari peristiwa hebohnya payung Jokowi pada saat Aksi Super Damai 212 (2 Desember 2016) di lapangan Monas, yang dihadiri oleh jutaan umat muslim di Indonesia. Tetapi kalau saya amati, masih menjadi perbincangan hangat oleh pengguna media sosial sampai saat ini. Oh ya, ada yang tahu lirik lagu di bawah ini!
Birunya cinta,
kita berdua,
semoga abadi,
seperti birunya langit.
Tentu bagi penggemar lagu-lagu dangdut, masih ingat betul lagu berjudul Birunya Cinta yang pernah populer di tahun ’90-an, kala dinyanyikan oleh Dayu AG dan Kitty Andry, yang sekarang dirilis ulang. Warna biru dimaknai sebagai keabadian, sebagaimana dominasi warna langit yang berwarna biru, walau kadang tergantikan putih atau abu-abu tatkala mendung atau berawan.
Kali ini, saya tak berniat membahas lagu dangdut tersebut, karena memang bukan kapasitas saya, walau tak dimungkiri, saya termasuk penggemar lagu-lagu irama Melayu. Saya justru tertarik untuk mengaitkan sisi lain dari sebuah peristiwa besar di negeri ini, yaitu Aksi Super Damai 212, pada 2 Desember 2016 yang lalu, yang terkonsentrasi di lapangan Monumen Nasional (Monas) Jakarta. Di luar ketakjuban saya menyaksikan jutaan umat melakukan doa dan zikir bersama, ada yang menarik buat saya, termasuk netizen di media sosial, tentang aksi Presiden Jokowi yang keluar dari istana, menerobos lebatnya hujan saat itu, dengan membawa payung sendiri. Jika dinilai dari aspek kelaziman, maka yang dilakukan oleh Jokowi, tentu tidak biasa untuk seorang pejabat publik, apalagi sekelas presiden dengan membawa payung sendiri, untuk sekadar melindungi tubuhnya dari guyuran air hujan. Padahal di sana, tampak para ajudan atau pengawal yang mengikutinya.
Bukan Pencitraan
Menurut saya, ini bukan pencitraan, tetapi ini karakter alamiah seorang Jokowi. Mungkin Jokowi hanya berpikir simpel, karena dia sadar bahwa langkah kakinya panjang-panjang. Sehingga kalau dipayungi oleh ajudan atau pengawalnya, malah tidak efektif dan menyendat perjalanannya untuk melaksanakan ibadah Salat Jumat di Monas.
Memang tidak ada yang aneh terhadap payung biru Jokowi, toh hal yang sama juga pernah dilakukan oleh presiden sebelumnya yaitu SBY, dan dengan payung besar berwarna biru juga. Hanya saja, di media sosial tidak seheboh seperti saat ini, berbeda tatkala Jokowi yang memegangnya. Hal ini juga sama terjadi dengan jaket bomber Jokowi yang heboh pada saat aksi 4 November, SBY-pun pernah mengenakannya. Namun, publik lagi-lagi menyikapinya berbeda. Inilah personal branding dan reputation, yang tidak bisa serta-merta diskenariokan dan direkayasa. Apalagi masyarakat sekarang sudah sangat cerdas untuk memaknai sebuah peristiwa atau perilaku para elit penguasa.
Kembali ke soal payung biru Jokowi. Tentu kita paham arti payung, yaitu alat pelindung badan supaya tidak terkena panas matahari atau hujan, biasanya dibuat dari kain atau kertas diberi tangkai dan dapat dilipat-lipat (sumber KBBI). Saya yakin pikiran Jokowi sederhana, dia memakai payung agar tidak basah kehujanan dan bisa nyaman dalam menjalankan ibadah. Tentu akan sangat menggangu, apabila melaksanakan salat dalam keadaan baju dan tubuh basah, yaitu dapat mengurangi kekhusyukan.