Lihat ke Halaman Asli

Tiga Dunia Menanti Jum'at Rahel di Mesir

Diperbarui: 26 Juni 2015   08:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Berhenti!!! Berhenti!!! Berhenti!!" Sekelompok pemuda mengangkat senjata tajam. Beragam. Dari pisau panjang hingga kayu dililit duri. Bengis. Tidak ada aparat. Mereka bukan ingin berbuat kejahatan. Tetapi mereka adalah orang setempat yang bergantian menjaga keamanan daerah masing-masing. Mereka mewaspadai masuknya orang dari daerah yang beberapa hari lalu bergerombol dan menjarah toko-toko warga. Kurang lebih setiap lima puluh meter terdapat batu yang mempersempit jalan. Memaksa jalan luas ini agar hanya mampu dilalui satu kendaraan. "Imeeem ezayyek???" "Hamdoulellah kuwaeis" "Kami dapat kabar bahwa seluruh orang Indonesia akan dipulangkan ke negara asal??? Lalu apa kamu juga akan pulang??? Tolong tidak usah ikut. Menetaplah di sini bersama kami. Insya Allah keadaaan seperti ini hanya sebentar. Kalau kamu pulang, dengan siapa kami bermain lagi??? Kami kesepian dalam main bola. Kalau kamu merasa tidak aman. Baba mempersilahkan kamu untuk tinggal di rumah." Ahmad dan Mouhsen memelukku. Dua anak kecil berusia sekitar tujuh tahun sangat gembira bertemu denganku. Biasanya kami bermain bola atau sekedar berbicara tentang hal lucu dan sepakbola. Beberapa hari ini kami tidak bertemu. Mereka langsung nyerocos menyemburku dengan berbagai pertanyaan yang belum sempat aku jawab persatu. Melihat wajahku yang pucat, seorang pemuda yang kukenal seorang anak pemilik toko di belakang tempat tinggalku menyodoriku sebotol minuman mineral. Dia memberitakan bahwa esok hari, Jum'at 4 Februari 2011 akan ada "Jum'at Rahel" susulan dari gerakan "Jum'at Ghadab". Belum selesai kutulis. Terhenti. Telepon genggamku bernyanyi. Aku harus mengantarkan konsumsi untuk para WNI yang sore ini akan dievakuasi. **** Untuk kedua kali. Aku harus belajar hidup dalam kondisi tidak aman. Sebenarnya selama konflik yang terjadi adalah internal, atau bukan perang antar negara, aku merasa aman di sini walau memang tidak nyaman. Karena Insya Allah pribumi tidak akan mengganggu orang Indonesia. Dan aku masih memiliki kenalan dan tetangga Mesir yang sudah menawarkan bantuan sejak awal. Kebetulan aku mempunyai hubungan dekat dengan beberapa rektor universitas di sini dan juga syeikh Mesir yang sering sekali menanyakan kondisiku. Matahari bulat masih tampan. Gagah. Kharismatiknya tak tergantikan. Andai aku panglima perang dan ia jendralnya, aku akan mengangkat tangan hormat sambil berteriak, "Lapor jendral. Tugas selesai dilaksanakan. Siap kembali ke tempat." Di saat musim dingin seperti ini, aku ingin kehadirannya lebih lama. Setelah parkir mobil, Mouhsen dan kali ini bersama Hazym tergesa menuju ke arahku. Dia menyuruhku agar lekas masuk dan jangan keluar rumah sampai hari Sabtu. Karena besok akan ada "Jum'at Rahel." Jutaan orang yang berdemo di Tahrer ditambah dengan warga dari berbagai tempat akan menuju Istana Presiden. Mereka ingin mengusir orang yang selama tiga puluh tahun dirasa telah menekan mereka. Aku hanya mengusap kepala mereka. Bahasaku untuk menenangkan dan meyakinkan mereka bahwa keadaanku baik-baik saja. Rumah yang kutinggali damai. Dua orang temanku masih asyik kompetisi PS. Kubuka jendela studio Radio SOUTIKA. Ramai siul burung berebut masuk ke ruangan ini. Ruangan yang kini tenang. Sepi tanpa tembang romantis atau lagu berirama semangat. Biasanya jam segini ramai celoteh penyiar diiringi lagu terbaru menghibur para mahasiswa yang penat seharian kuliah. Ya, aku rindu suasana itu. Dua tahun lamanya aku siaran dan tinggal di sini. Mixer, komputer, mic, headset, sound, kabel, itu semua adalah teman setiaku. Nampaknya mereka juga kesepian. Ingin segera disentuh para penyiar cantik dan tampan yang sekarang lagi kalang kabut dibuat pusing keadaan. Ini merupakan masa emas. Ini kesempatan mahalku untuk menyelesaikan novel kedua. Sudah lama molor dari target. Selama enam bulan ini, aku sebagai ketua organisasi sangat jarang menulis. Dinamika yang bergerak cepat menuntut kami cerdik dan lihai, untuk istirahat saja harus pintar mencuri waktu. Apalagi untuk konsen menulis. Aku ingin terus tenggelam. Meminum dan mabuk dalam ilmu. Sekarang ada tiga dunia semasa penantian Jum'at Rahel. Dunia pertama adalah dunia para pelajar asing seperti kami. Daripada pusing memikirkan evakuasi yang terkesan setengah-setengah, lebih baik kami melakukan banyak hal di dalam rumah. Dari membaca, menulis, menghapal Qur'an atau main game. Dunia kedua adalah dunia para demonstran yang kini berkumpul di Tahrer Square yang membludak jumlahnya. Yang pasti jutaan lagi akan bertambah esok hari seusai shalat Jum'at. Tak terbayangkan koordinasi, komunikasi, taktik atau entah apa istilahnya. Jutaan telepon genggam pasti berdering. Dari sahabat yang memberi kabar atau informasi. Dari orang tua yang bertanya kabar dan menanti cemas di rumah, atau anak istri yang seminggu merengek agar Sang Ayah kembali ke rumah. Yang jelas mereka harus putar otak agar pemimpin mereka yang keras kepala mau lengser dari posisinya. Sedangkan dunia ketiga adalah dunia seorang kepala negara yang sedang resah memusingkan keadaan negara yang kacau balau. Dag dig dug dadanya tak pernah berhenti. Jantung terpacu semakin cepat menanti apa yang akan terjadi esok hari di Jum'at Rahel. Apakah jutaan rakyat Mesir akan menuju ke istananya lalu mendemo dan memaksanya lengser dan keluar Mesir. Apakah akan terjadi bentrok lagi antara rakyat. Apakah akan ada militer luar negeri yang berdalih utusan PBB yang akan melindunginya. Atau saking terlalu cepatnya irama dag dig dug dari dadanya mengakibatkan serangan jantung dan stroke lebih dulu menyerangnya sebelum fajar terbit. Hingga tak perlu lagi ada demo, bentrok dan korban.

*** Kutulis disela chatting bersama My Lovely Mom nun jauh di Jakarta. Hamdulillah aku bisa meyakinkannya bahwa kondisiku baik-baik disini. Imeeem ezayyek?: Imam apa kabar? Hamdoulellah kuwaeis: Hamdulillah baik Jum'at Rahel: Jum'at yang hari itu penduduk Mesir berencana demo dan mengusir pemimpinnya. Jum'at ghadab: Jum'at dimana hari itu rakyat Mesir turun ke jalan menuntut turunnya pemimpin mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline