Lihat ke Halaman Asli

imam satria

Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia

Pergeseran Re-Sentralisasi Path Dependency dalam Evolusi Fiskal dan Perizinan di Indonesia

Diperbarui: 22 November 2024   18:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis RisikoPasca PP 5/2021Sumber: (Andise, 2023)

Perjalanan tata kelola pemerintahan Indonesia, yang ditandai dengan desentralisasi pasca-Reformasi, sekarang bergeser menuju re-sentralisasi. Pergeseran ini, yang salah satunya didorong oleh inefisiensi dan korupsi di tingkat daerah, menggarisbawahi pengaruh jangka panjang dari ketergantungan pada jalur. Beberapa kebijakan seperti UU No. 1 Tahun 2022 (hubungan fiskal regional) dan UU No. 6 Tahun 2023 dan PP No. 5 Tahun 2021 (reformasi dan resentralisasi perizinan melalui Online Single Submission atau OSS) dominan mengatur tindakan penyeimbangan dan standardisasi melalui tujuan awal desentralisasi dengan memastikan efisiensi dan pertumbuhan ekonomi. Dengan landasan pemikiran tersebut, perlu melihat desentralisasi ulang sebagai respons terhadap tantangan institusional dengan menyelami implikasinya melalui lensa Ekonomi Kelembagaan Baru (New Institutional Economics/NIE).

Sentralisasi Ulang: Meninjau Kembali Ketergantungan Jalur di Indonesia

Path Dependency atau ketergantungan jalur di Indonesia mencerminkan ketegangan antara praktik historis dan reformasi saat ini. Desentralisasi, yang diprakarsai oleh UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999, memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menjalankan fungsi fiskal dan administratif. Meskipun hal ini mendorong otonomi daerah, hal ini juga mendorong inefisiensi dan korupsi. Dalam Poros Re-Sentralisasi, reformasi baru-baru ini, terutama UU No. 1 Tahun 2022 dan UU No. 6 Tahun 2023, menandakan kembalinya tata kelola pemerintahan yang tersentralisasi, terutama di beberapa bidang seperti Kebijakan Fiskal dan Perizinan Usaha. Kebijakan Fiskal menandakan pergeseran dari mekanisme pendapatan daerah yang bersifat terbuka menjadi formula nasional yang terstandardisasi dan semi tertutup. Di sisi lain, Perizinan Berusaha menandakan konsolidasi sistem yang terfragmentasi ke dalam platform OSS, sehingga mengurangi keleluasaan daerah.

Pertama: Re-Sentralisasi Fiskal - Mengapa Re-Sentralisasi?

Desentralisasi fiskal memberikan fleksibilitas kepada daerah untuk memperkenalkan pajak dan retribusi (daftar terbuka). Namun, terdapat Kesenjangan Regional dan Risiko Korupsi. Dalam hal Kesenjangan Regional, daerah yang lebih kaya seperti Jakarta dan Kalimantan Timur jauh melampaui daerah lain, dengan kesenjangan pendapatan melebihi 500%. Sementara itu, Risiko Korupsi yang ditemukan dalam studi BPHN tahun 2021 menemukan adanya pungutan liar di 80% kabupaten, yang merusak kepercayaan dunia usaha. Dampak Re-Sentralisasi dapat dilihat pada Mekanisme Penerimaan yang terstandarisasi dengan berpindah dari sistem daftar terbuka ke sistem daftar tertutup telah mengurangi pembuatan pajak yang sewenang-wenang. Dampaknya juga dapat dilihat pada Pemerataan Fiskal dengan Mengalihkan dana melalui transfer nasional (DAU, DAK) telah mengatasi sebagian kesenjangan, dengan kesenjangan PDB per kapita regional yang menyempit sebesar 15% dari 2018 hingga 2023. Namun, masih ada kekhawatiran mengenai pembatasan inovasi daerah dan kontrol yang terlalu terpusat, yang dapat mengikis akuntabilitas.

Kedua: Perizinan dan Reformasi OSS - Masalahnya:

Perizinan yang terdesentralisasi menyebabkan biaya transaksi yang tinggi dan korupsi dari dua perspektif. Pertama adalah Ketidakpastian Investor yang mana penundaan perizinan rata-rata 7-10 hari sebelum OSS, dengan 43% pelaku usaha mengutip persyaratan yang tidak jelas. Kedua adalah Korupsi yang mana biaya ilegal selama proses aplikasi menyumbang hingga 15% dari biaya bisnis di beberapa daerah (ICW, 2019). Re-Sentralisasi melalui OSS (UU No. 6 Tahun 2017 dan PP No. 5 Tahun 2021) dapat memberikan manfaat bagi perekonomian daerah melalui beberapa cara. Pertama, Peningkatan Efisiensi, di mana dengan mengotomatisasi perizinan berisiko rendah dapat mengurangi waktu pemrosesan hingga 50%, sehingga meningkatkan kepercayaan investor. Kedua, Transparansi, di mana biaya ilegal turun 70% antara tahun 2018 dan 2023 karena adanya pengawasan nasional yang terstandardisasi. Dan terakhir, Pertumbuhan FDI yang menghasilkan proyek-proyek investasi asing langsung melonjak dari 37.008 pada tahun 2018 menjadi 154.509 pada tahun 2023, dengan arus masuk sebesar $50 miliar.

Terlepas dari semua itu, tantangan masih tetap ada. Dari Kesenjangan Implementasi, kita dapat melihat bahwa resistensi daerah terhadap integrasi OSS telah memperlambat adopsi, dengan 25% daerah belum sepenuhnya patuh pada tahun 2023. Dan dari hilangnya konteks lokal yang berpotensi disebabkan oleh proses perizinan yang terstandardisasi gagal memperhitungkan nuansa daerah, sehingga berpotensi merugikan beberapa provinsi kecil.

Kita dapat memperoleh manfaat jika kita melihat wawasan teoritis dari Jalur Ketergantungan dan Evolusi Kelembagaan. Dari kedua teori tersebut, sentralisasi ulang di Indonesia sejalan dengan prinsip-prinsip utama Ekonomi Kelembagaan Baru. Pertama, Ekonomi Biaya Transaksi (Transaction Cost Economics/TCE), Dengan mengkonsolidasikan perizinan di bawah OSS, pemerintah telah mengurangi biaya negosiasi dan penegakan hukum. Pelaku usaha sekarang dapat menavigasi satu kerangka kerja peraturan, sehingga meningkatkan efisiensi. Kedua, Teori Hak Kepemilikan, Kebijakan yang terpusat memberikan penegakan hak kepemilikan yang lebih jelas, mengurangi risiko oportunisme dan meningkatkan investasi jangka panjang.

Kritik yang Seimbang terhadap Sentralisasi Ulang

Peningkatan Infrastruktur dari InvestasiSumber: (Sopiah, 2022)

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline