Lihat ke Halaman Asli

Imam Rahmanto

Coffee addict

Bank "Ini" Kaku Aturan

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anda punya tabungan di Bank BRI? Pernah menarik uang dari sana? Saya sarankan untuk secepatnya mempertimbangkan kelanjutan tabungan Anda disana. Meskipun sebenarnya saya sendiri sampai saat ini masih punya tabungan Simpedes, yang nominal saldonya tidak cukup buat ditarik lagi. Menunggu waktunya mati saja.

Bank yang katanya dekat dengan rakyat kecil itu kenyataannya tidak benar-benar peduli dengan nasabahnya. Bank yang slogannya melayani dengan sepenuh hati itu kenyataannya tidak melayani dengan sungguh-sungguh.

Aturan yang diterapkannya sungguh kaku mengikat para pekerjanya. Atau pekerjanya saja yang terlalu kaku memaknai peraturannya ya? Sampai-sampai perempuan berparas cantik sebagai tellernya tidak bisa memanfaatkan intuisi wanitanya, perasaan. Ia hanya berpaku pada rasionalitas semata dan (sekali lagi) peraturan. Jadinya saya tidak melihat kecantikannya lagi. Masa bodoh.

Baru-baru ini saya harus berhadapan dengan petugas di Bank BRI. Ayah saya yang sedang terbaring sakit karena lumpuh menugasi saya untuk menarik sejumlah uang di bank. Kebetulan ia punya tabungan di Bank BRI, Britama. Uang tersebut akan digunakannya berobat selama menumpang di rumah Paklik saya. Untuk bisa menarik sejumlah uang itu, saya membuatkan Surat Kuasa yang ditandatangani oleh ayah saya di atas materai 6000. Melalui Surat Kuasa itu, saya berharap bisa mewakili ayah saya untuk berurusan dengan pihak bank.

Apa dinyana, pengurusan melalui Surat Kuasa tersebut ditolak. Meskipun saya telah menunjukkan KTP dan rekening milik ayah saya, namun teller yang bertugas bersikukuh tidak membenarkan penarikan uang melalui Surat Kuasa jika tidak melalui bank unit rekening bersangkutan. Kebetulan ayah saya berekening Enrekang. Ia sudah sakit semenjak 6 bulan lalu dan harus berobat di Makassar. Ia dan ibu saya menumpang di rumah Paklik saya di Makassar.

"Maaf, tidak bisa. Menurut peraturan, surat kuasa hanya berlaku di kantor unit dimana rekening itu dibuat. Karena rekening ini dibuat di unit cabang Enrekang, maka penggunaan surat kuasa juga hanya berlaku disana," terang teller yang belakangan saya ketahui namanya Putri.

"Waduh. Jadi, caranya narik disini bagaimana, Mbak? Sementara bapak saya juga tidak bisa kesini, karena sakit. Dia lumpuh," tutur saya. Saya berusaha meminta sedikit "keringanan"nya terkait hal itu. Bahkan saya juga sudah menyodorkan nomor handphone ayah saya jika seandainya ia benar-benar tidak percaya dengan saya.

"Orangnya tetap harus dihadirkan disini. Bertanda tangan di hadapan teller," ucapnya lagi.

"Wah, bagaimana caranya, mbak? Masa mbak sendiri tidak kasihan dengan ayah saya. Masa saya harus mengangkatnya dari rumah dan membawanya kesini?" Saya berusaha mengetuk rasa kemanusiaan perempuan satu ini.

Hanya saja aturan dari atasannya mungkin telah dipaku kuat di kepalanya. Sehingga tak ada lagi ruang bagi dirinya untuk memanfaatkan perasaannya sebagai perempuan. Setahu saya, perempuan seharusnya jauh lebih "perasa" ketimbang laki-laki.

Karena bersikukuh menerapkan aturan itu, saya pulang bersama ibu saya. Mau tidak mau, saya benar-benar harus menghadirkan ayah saya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline