Lihat ke Halaman Asli

Menyusuri Sebagian Jejak Islam di Pulau Jawa

Diperbarui: 9 Mei 2016   12:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sekitar sebulan setengah, tim ekspedisi Islam Nusantara Pengurus Besar Nahdlatul Ulama berjalan menyusuri jejak sejarah Islam di Pulau Jawa. Selain itu, tim ekspedisi yang dipimpin oleh Wakil Sekjend PBNU Imam Pituduh ini, juga terus mengingatkan tentang bahaya terorisme, radikalisme dan narkoba pada siswa SMA di setiap kota yang dikunjunginya.

Tim ekspedisi ini dilepas Ketua Umum PBNU KH Said Agil Siraj di Cirebon pada 31 Maret lalu, bertepatan dengan rangkaian Festival Pesona Cirebon. Menyusuri kota-kota di bagian utara Pulau Jawa.  Mereka mengunjungi situs arkeologi, takziah ke makam-makam para wali dan  aulia, mendatangi pondok pesantren yang punya sejarah panjang bagi sistem pengajaran Islam, sowan pada kiai pengasuh pondok pesantren untuk silaturahim dan melaporkan perjalanan tim ekspedisi. Pasalnya, banyak kiai pengasuh pondok pesantren yang secara struktural duduk sebagai mustasyar(dewan penasehat) maupun sebagai tanfidziyah(pengurus harian)di PBNU.

“Keberadaan kiai ini tidak bisa dipisahkan dari NU, ini ibaratnya dua sisi dari mata uang yang sama. Kiai menghidupi NU dan NU telah menjadi darah dari para kiai dan santrinya,” ujar Imam Pituduh, dalam berbagai kesempatan ketika bertemu dengan pengasuh pondok pesantren.

Selain itu, tim ekpedisi Islam Nusantara ini berniat mendokumentasikan seluruh kegiatan keislaman di nusantara. Dokumentasi itu nantinya akan dibukukan dalam bentuk ensiklopedi Islam nusantara dan film dokumenter. Itu sebabnya, mereka melakukan wawancara dengan para sesepuh dan para tokoh setempat yang dianggap mengetahui, atau mempunyai informasi tentang situs sejarah yang punya kaitannya dengan sejarah Islam di nusantara. Selain itu, mereka juga mencocokkan informasi dari catatan sejarah yang selama ini pernah dituliskan oleh sejarawan nasional maupun internasional tentang sebuah artefak arkeologi dan dikaitkan dengan “ideologi” keislaman.

“Kami banyak menemukan bukti sejarah baru, yang selama ini tidak banyak diungkap. Atau paling tidak publik tidak banyak yang mengetahuinya. Itu sebabnya, kami juga bertekad ingin meluruskan sejumlah sejarah keislaman berdasarkan temuan baru ini,” ujar Imam Pituduh yang mulai pekan ini akan menyusuri jejak Islam Nusantara di Pulau Sumatera.

Tim inti ekspedisi yang berjumlah 35 orang ini  anggotanya terdiri dari berbagai latar belakang keilmuan dan profesi, yaitu sejarawan, jurnalis, fotografer, videographer, peneliti, ahli agama, arkeolog, dan sosiolog. Itu sebabnya, seusai mengunjungi sebuah situs purbakala, makam para aulia, ataupun pondok pesantren, selalu terjadi percakapan kecil hingga diskusi yang serius dan cukup hangat, tentang tempat yang dikunjungi, sejarah, ataupun kebesaran tokoh. Diskusi yang hangat di berbagai tempat ini dilakukan di jalan, di dalam bus, hingga di tempat penginapan hingga larut malam.

Padahal, perjalanan tim ekspedisi ini setiap harinya dilakukan sekitar pukul 8 pagi, atau jika harus bergerak ke kota yang berbeda maka tim akan berangkat pukul 7 pagi. Namun, dengan jadwal kunjungan kunjungan di setiap tempat yang amat padat, susul menyusul ini, membuat acara selalu berakhir hingga malam diatas pukul 8 malam. Bahkan di Kediri, ketika ada pementasan wayang Jemblung, sebuah tradisi yang dipercaya sebagai warisan dari Sunan Giri, salah satu wali songo.

Kedatangan tim ekpedisi ini disambut dengan meriah oleh setiap bupati yang daerahnya mendapat kunjungan tim eskpedisi Islam Nusantara. Begitu juga sejumlah sekolah yang menjadi tuan rumah bagi sosialisasi bahaya terorisme, radikalisme, dan narkoba, menyambut dengan antusias. Mereka menampilkan sejumlah kesenian khas daerah dan mengikuti acara sosialisasi yang digelar di sekolah dengan menghadirkan pembicara baik dari pihak sekolah, BNPT maupun BNN.

Di setiap pendopo pemerintahan yang disinggahi, sebelum acara dialog lintas iman dan budaya dimulai, terlebih dahulu digelar pentas kesenian. Hanya di Kediri, tampaknya aparat pemerintahan setempat kurang memberikan sambutan dibandingkan dengan sambutan yang diberikan di kota-kota lain.

Sambutan di pondok pesantren pun tidak kalah semaraknya. Di Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum, Tambak Beras, Jombang misalnya, kedatangan tim ekspedisi ini disambut dengan sholawat badar santriwati disepanjang jalan masuk ke pondok pesantren itu. Sambutan yang menandakan kedatangan tokoh penting atau orang-orang yang dihormati.

“Kami amat menghargai upaya PBNU ini. Sebuah langkah untuk mencatat dan mendokumentasikan tentang kegiatan keseharian pondok pesantren agar dunia tahu, seperti apa sebetulnya kegiatan pondok pesantren itu,” ujar Ketua Majelis Pengasuh Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum, Jombang, KH Hasib Abdullah Wahab yang didampingi Sekretaris Yayasan Bahrul ‘Ulum KH Abdul Kholiq.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline