Lihat ke Halaman Asli

Gerakan Yang Tidak Bergerak

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hari ini, mungkin masyarakat kembali digetarkan oleh rencana aksi besar-besaran. Bahkan, polisi pemerintah provinsi DKI Jakarta, dan Presiden sendiri, memberikan tanggapan yang luar biasa atas rencana aksi tersebut. Namun, demonstrasi besar itu memang tidak sebesar seperti yang dikhawatirkan penguasa. Demonstran pun, kembali melakukan aktivitas kesehariannya kembali dengan tentram dan damai.

Sebuah gerakan yang tidak bergerak, sama saja dengan air comberan yang tergenang. Akan menjadi sumber penyakit. Karena itulah, perlu usaha cerdik untuk membuat saluran agar air bisa dialirkan untuk bergabung dengan air-air lain yang lebih besar, di sebuah lautan kebebasan.

Saya amat suka dengan gerakan religius dan sosial politik, yang dalam sejarah pernah membebaskan Iran dari secara bertahan dari kekuasaan Mongol. Gerakan itu terwujud dalam gerakan Sarbedaran, sebagai pola dasar perjuangan sosial politik yang berakar dalam tradisi futuwwat.

Tokoh pembebas Ali Syari'ati di Iran, pernah mengungkapkan bahwa gerakan sarbedaran ini, sebagai antitesa dari sufise dan syi'isme revolusioner. Syi'isme menentang kekhalifahan, untuk menarik massa pendukung. Sedangkan sufisme, menyerukan kepada tokoh intelektual yang dimanfaatkan pemikirannya untuk mendukung kekhalifahan.

Terus terang, saya lagi-lagi berangan-angan untuk membangun gerakan semacam ini, yang mungkin bisa menjadi sebuah sintesa bagi kemampatan kondisi politik yang memang memuakkan. Mungkin juga kekecewaan mantan Ketua Umum Partai Amanat Nasional Soetrisno Bachir tentang politik cukup beralasan. Sehingga mendorongnya untuk menekuni dunia tasawuf dan langsung membangun gerakan ekonomi masyarakat yang membutuhkan. Diantaranya dengan memberikan bantuan awal pemodalan pada ibu-ibu di daerah Sentul, Bogor, untuk memberdayakan diri sendiri, dan keluarganya. Sosok ibu, atau perempuan, dipilih Soetrisno dengan sadar, karena dianggap sebagai penyangga yang kuat bagi perbaikan kader, generasi muda, dan anak bangsa.

Mungkin kedengaran terlalu naif, jika dikatakan Soetrisno Bachir sebelumnya tidak tahu kalau dalam politik praktis di negara ini memang penuh kepalsuan dan ketidaktulusan dalam membangun basis kekuasaannya. PAN, semula dianggapnya sebagai partai yang punya "moral" yang lebih baik, sebagai partai nasionalis yang punya semangat keagamaan, dianggap mempunyai nilai lebih yang berbeda dari partai lain. Ia merasa, PAN lebih ketengah ketimbang PKS.

"Namun, akhirnya saya harus kecewa. Dan rasa kecewa itu sudah saya lewati. Sekarang, tinggal anda-anda yang baru merasakan kekecewaan, dan harus siap kecewa dengan kondisi PAN selama lima tahun kedepan," ujar Soetrisno Bachir, pada sejumlah kader PAN, sesaat setelah mendengar laporan dari Dradjat Wibowo dan Hanafi Rais, yang melaporkan bahwa mereka diminta untuk mengundurkan diri dari pencalonan ketua umum PAN, dalam kongres di pekan pertama, Januari ini.

Padahal, ia juga berangan-angan akan membawa PAN menjadi sebuah partai yang bisa menjadi basis gerakan kerakyatan, yang bisa berbeda dengan partai lain, sehingga bisa menjadi partai yang mendapat dukungan besar, untuk kemudian menjalankan sejumlah program yang dianggapnya mampu membawa keluar bangsa ini dari keterpurukan ekonomi.

Salah satu yang ditawarkannya adalah memperbaharui teknologi nyedot minyak bumi, yang sudah dibuktikannya bisa berjalan. Begitu juga dengan program membangun kemandirian melalui program kewirausahaan. Bahkan di PAN, ia sudah menancapkan program yang sejahtera anggotaku, untuk menjadi jaringan kontak antar pengusaha yang ada di PAN, sehingga punya kemampuan usaha dan daya saing yang kuat. Selain itu, program pariwisata, dengan membangun wilayah-wilayah Indonesia dengan program pariwisata sudah terbukti ampuh. Tanpa bermaksud mengklaim kesuksesan Bupati Lamongan Masfuk, yang kader PAN, telah membuktikan kebenaran dan kesaktian program pembangunan pusat pariwisata.

Ah sudahlah, saya ingin mengakhiri dulu tulisan ini, dengan kata-kata bijak dari Pondok Pesantren Gontor Man Jadda Wajada, siapa yang bersungguh-sungguh, pasti berhasil. Begitu juga dengan bangsa ini, kalau bersungguh-sungguh ingin menyejahterakan rakyatnya, pasti berhasil.

Saya juga amat suka dengan kalimat penyemangat dari AA Gym, mari, lakukan apa yang bisa kita lakukan untuk perbaikan dari hal yang sederhana dan kecil. Dan lakukanlah dengan sungguh-sungguh sekarang juga. ah jadi kemana-mana ya arahnya. :)

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline