Kisruh dualisme kepengurusan Partai Golkar dan PPP ternyata berakhir manis dan indah. Semua dipersatukan dalam kasih cinta oleh Jokowi. Saling cakar-cakaran antara Agung Laksono dan Aburizal Bakri dipungkasi dengan senyum charming Setya Novanto yang sempat mengegerkan publik berikut pernyataan dari Jokowi tentang Papa Minta Saham. Solusi yang dramatis, mengingatkan publik kemampuan seorang Jokowi mengatasi kemarahan pedagang kaki lima di Solo maupun Jakarta. Semua damai. Semua tahu sama tahu.
Lalu kisruh yang semakin binal antara Romahurmuziy dengan Djan Faried, hingga perang dukungan di kontestasi pilkada Jakarta pun ditengarai efek dari cantiknya Jokowi melakukan personal approach kepada pria kurang kerjaan tersebut. Dan akhirnya, damai Indonesiaku. Semua anteng dan tenang. Itulah hebatnya Jokowi.
Antengnya empat fraksi dari kedua partai bangkotan di atas tidak lain dan tidak bukan adalah output dari sebuah serangan politik yang ciamik dan hebatnya menyebabkan Gerindra yang diajak berkuda di Hambalang dan apalagi pentolan-pentolan oportunis seperti Wiranto dan Surya Paloh sudah barang tentu akan senantiasa "delapan enam" kepada segenap sikap-sikap politik yang dipilih oleh Jokowi.
Alhasil Gedung Senayan lebih sepi dan hening daripada pemakaman Tanah Kusir. Tidak adalah interupsi, perang sikap politik dan itikad-itikad untuk melakukan kata kerja dari mereka yakni sebagai fungsi pengawasan. Nyaris tidak ada sikap-sikap yang kritis terkait keputusan-keputusan pemerintahan Jokowi yang kian hari kian menunjukkan watak aslinya yakni memerah dan memeras pendapatan langsung dari rakyatnya.
Pencabutan subsidi untuk listrik dengan daya 900VA yang seharusnya terindikasi dinikmati oleh masyarakat sederhana yang sebagian besar adalah buruh pabrik dan pegawai negeri sipil golongan bawah. Klaim pemerintah bahwa terdapat sebagian besar dari 22,9 juta rumah tangga ialah golongan mampu yang tidak berhak mendapatkan subsidi listrik yakni sebesar sekitar 18,8 juta pelanggan, dan hanya 4,1 juta pelanggan yang berhak. Mencabut subsidi dan berimplikasi adanya kenaikan hingga 143% biaya yang harus dikeluarkan oleh warga menyebabkan timbul sebuah pertanyaan, apakah sedemikian ringkasnya pemerintahan ini mengelola keuangan negara? Ditambah dengan kebijakan untuk menaikkan biaya pengurusan pembuatan dan perpanjangan STNK dengan alasan untuk efisiensi? Speechless, mengurangi efisiensi dengan menaikan tarif.
Mengapa Jokowi sedemikian buas mengambil segala sesuatunya dari rakyat? Apakah karena beban hutang yang perbulan belasan trilyunan yang harus dialokasikan sehingga membuat Jokowi gelap mata dan merasa patut untuk membuat rakyat menjadi subyek pembayar dari kebijakan yang dia tetapkan?
Dewan telah mati fungsinya.
Senayan telah berubah menjadi cafe dan lounges untuk menikmati tunjangan-tunjangan super hingga selesai masa bakti para legislator tersebut. Mereka sudah menggadaikan spirit yang mereka umbar saat berkampanye di depan para konstituen yang begonya terlanjur percaya.
Parlemen telah rusak fungsi-fungsi kontrolnya, harus ada elemen yang menggantikan peran yang tergadaikan tersebut.
“Presiden Republik Indonesia, Bapak Joko Widodo yang kami hormati, untuk berhenti secara serampangan mengelola Indonesia. Sebaliknya, senantiasa hadir sebagai solusi dalam berbagai permasalahan yang ada di negeri ini, bukan malah memperkeruh suasana..” tulis Muhammad Mahardhika Zein selaku Presiden Keluarga Mahasiswa Institut Teknologi Bandung dan juga Koordinator Isu Energi Aliansi BEM Seluruh Indonesia.
Untung saja masih bisa kita letakkan harapan daya kritis dan tetap melek mata terkait semakin tidak karuannya pemerintahan ini mengelola negara. Celetukan Mentan Amran yang meminta rakyat untuk menanam cabai akibat gagalnya pemerintahan ini mengendalikan alur ketersediaan komoditas di pasaran adalah carut-marutnya para regulator. Saling lempatr tanggung atas siapa yang iseng untuk menaikkan tarif pengurusan STNK dan BPKB saja sudah memperlihatkan kelas Jokowi mengendalikan pemerintahan ini.