Lihat ke Halaman Asli

Antara Quraish Shihab, Ahok dan Tafsir Quran tentang Kepemimpinan Kafir

Diperbarui: 6 Januari 2017   11:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Meski kerap menimbulkan gaduh di internal Islam tapi kajian seorang Quraish Shihab dalam tataran tafsir Quran setidaknya direnteti oleh argumen-argumen yang berlanjut antara yang menimbulkan gaduh (baca: QS) dan yang tergaduhkan. Ambil saja contoh saat QS menyatakan Rasulullah tidak dijamin masuk surga saat menyampaikan sebuah materi di sebuah televisi swasta. Sontak kegaduhan dalam skala nasional dan menjadi sub headline beberapa media.

Tafsir berasal dari kata al-fusru yang mempunyai arti al-ibanah wa al-kasyf (menjelaskan dan menyingkap sesuatu). Menurut pengertian terminologi, seperti dinukil oleh Al-Hafizh As-Suyuthi dari Al-Imam Az-Zarkasyi ialah ilmu untuk memahami kitab Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, menjelaskan makna-maknanya, menyimpulkan hikmah dan hukum-hukumnya.

Dan beberapa ulama mengatakan mufassir atau ulama yang menguasai ilmu tafsir setidaknya harus memiliki beberapa bidang keilmuan, antara lain bahasa arab yang meliputi mufrodat (kosakata), nahwu (sintaksis), sharaf (morfologi), isytiqaq (Etimologi), balaghah (Kesusastraan) dan ulumul quran, ushuludin serta seorang hafidz (hafal 30 juz) dan memiliki hapalan ribuan hadits berikut derajat-derajatnya. Ringkasnya, seorang mufassir adalah -menurut beberapa ulama adalah puncaknya sebuah keilmuan di dalam khazanah Islam.

Dalam sejarahnya beberapa ulama yang kondang dengan kedalaman keilmuannya seperti Ibn Abbas Radliyallahu anhuma dan bahkan shahabat yang dikenal dengan julukan Lautan Ilmu ini kemudian menjadi rujukan dan sandaran para ulama hingga kini. Lalu tafsir Al Jalalain, tafsir Ibn Katsir hingga tafsir Al Misbah yang dikarang oleh Quraish Shihab. Meskipun ada beberapa kontraversial dari sekian kitab tafsir namun jika melihat begitu banyak persyaratan untuk kemudian dapat dijuluki ahli tafsir menyebabkan konteks diskusi tentang tafsir tetap mengedepankan asas-asas ilmiyyah dan hujjah. Tidak bisa serta seseorang menjadikan hawa nafsu sebagai kuda tunggangan untuk menafsirkan sebuah ayat atau konteks sebuah ayat.

Pada kasus Ahok yang berlanjut pada sesi persidangan untuk dakwaan pasal penghinaan, terakhir beberapa hari yang lalu sepertinya AHok belum juga mendapatkan pencerahan dari sejumlah aksi-aksi yang dilakukan oleh ummat islam dalam jumlah bahkan jutaan peserta. Pria yang bukan beragama Islam ini masih keukeuh dan pede untuk mempermasalahkan mereka yang menukil sebuah ayat tentang keharaman memilih pemimpin sebuah wilayah yang tidak seagama (baca: non islam alias kafir). 

Pernyataannya yang mempermasalahkan sebuah informasi yang tertuang dalam sebuah BAP atas pelapor dan kemudian memberikan imbuhan aksentuasi bahwa hal tersebut dilatarbelakangi persoalan bekerja pada perusahaan kafir dan di pimpin oleh atasan kafir setidaknya memberikan pencerahan kepada ummat Islam bahwa Ahok memang berminat dan tetap pada posisi memberikan tafsiran tersendiri untuk ayat yang ada di surat Al Maidah.

Dalam khazanah kristiani, ada beberapa apologist memang pada akhirnya selalu akan meriuhkan beberapa frasa, kalimat atau sebuah ayat di dalam alkitab. Bahkan tentang ketuhanan Yesus saja telah menjadi sebuah diskusi yang masih berlangsung hingga hari ini diinternal para ilmuwan dari teologist. Silahkan untuk mencari lebih jauh tentang eksistensi para apalogist tersebut. Dan menurut hemat penulis hal ini terjadi karena pendekatan hermeneutika yang melempangkan diskusi hingga tidak terkendali. Dan itupun masih terjadi di internal serta tidak meluas kepada penganut agama selain Kristen. Jika pun akhirnya menjadi sebuah persinggungan keilmiahan maka sesi-sesi debat yang menawan antara misalnya Shabir Ally dengan Jay Smith yang menambah perbendaharaan informasi dan menebalkan keimanan.

Kembali soal Ahok, dalam predikat yang tidak menjanjikan seperti non Islam, vested interest yang kental seperti keinginannya kembali menggawangi Ibukota sebagai Gubernur, seorang terdakwa kasus penghinaan keyakinan dan tidak memperlihatkan penyesalan maka dipandang penting rasanya untuk memberikan informasi kepada pembaca yang berusaha mengambil setidaknya sedikit pemahaman bahwa menafsirkan Al Quran tidak bisa seperti menebak-nebak biji buah manggis yang jika salah kemudian cukup nyengir dan melengos pergi.

Al Quran sebagai sebuah wahyu suci dan menjadi kitab yang di imani seluruh ummat Islam sedunia memiliki kaidah-kaidah tersendiri. Di mulai dari cara mengetahui huruf-huruf hijaiyyah, membacanya dengan benar dan kemudian menikmati kajian tafsir yang disampaikan oleh para ulama yang shalih. Dan bukan tafsir oleh seseorang seperti Ahok.

Salam Untuk Tafsir Anti Pemimpin Kafir!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline