Lihat ke Halaman Asli

Fragmentasi Sosial di Era Jokowi

Diperbarui: 18 Desember 2018   11:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dalam kurun empat tahun lebih, kasus-kasus atau insiden konflik yang terjadi di tengah masyarakat kerap terjadi. Entah berupa persekusi atau aksi berbalas aksi. Bahkan Jokowi selaku presiden pun terlibat secara aktif untuk menciptakan fragmentasi tersebut.

"Jangan bangun permusuhan, jangan membangun ujaran kebencian, jangan membangun fitnah fitnah, tidak usah suka mencela, tidak usah suka menjelekkan orang. Tapi, kalau diajak berantem juga berani," kata Jokowi dalam Rapat Umum Relawan di Sentul International Convention Center (SICC), Bogor, Sabtu (4/8/2018).

Jokowi meskipun berdiri saat itu dalam kapasitas sebagai calon presiden namun tidak bisa melepaskan lekatan jabatan menterengnya sebagai Presiden Republik Indonesia. Sejumlah protokol yang ditetapkan dan masih diberlakukan kepada dirinya tidak bisa melepaskan tudingan bahwa dirinya secara aktif  meng-inisiasi sebuah ajakan untuk melakukan fragmentasi.

Penulis memandang terjadinya fragmentasi ini bermula dari kasus penghinaan yang dilakukan  oleh mantan Gubernur, Basuki Tjahaja Purnama yang memancing keriuhan sosial yang massif. Ekses dari kasus tersebut menciptakan perpecahan yang laten dan hingga saat ini masih berupa bara menyela. Apalagi persepsi yang tercipta bahwa adanya dua kelompok besar yang tengah berhadap-hadapan antara mereka yang memposisikan dirinya sebagai penjaga toleransi, Pancasilais dan pro NKRI di kubu yang mendukung sikap Ahok dalam pasal yang dikenakan dengan kubu yang dituding sebagai kelompok intoleran, radikalis dan alergi dengan NKRI.

Sikap-sikap yang naif ini juga ternyata bercokol di masing-masing kepala mereka yang berada dilingkaran kekuasaan Jokowi. Apabila ada insiden yang memiliki potensi konflik, selalu lingkaran dalam dari kekuasaan mempublikasi konten-konten tentang radikalisme dan intoleran. Seakan-akan Indonesia tengah gawat toleransi.

Isu-isu inilah yang menjadi pembelah diantara masyarakat. Fragmentasi ini kian diperuncing dengan tudingan-tudingan yang menjurus berlakunya segregasi, pemilahan masyarakat berdasarkan kelas ekonomi. Semisal adanya tudingan uang sekian ratus ribu untuk setiap peserta aksi-aksi yang memiliki imbas turunnya kepercayaan publik kepada rezim. Seakan-akan peserta aksi adalah mereka yang bergerak berlandaskan motif ekonomi. Sebagai catatan, peserta aksi Reuni 212 kemaren terdiri dari sekian kelas sosial, mulai dari tukan sol sepatu hingga pengusaha beromset milyaran rupiah. Tudingan ngawur dari kubu petahana menegaskan mereka memiliki sudut pandang yang remeh dan kabur realita.

Jokowi selaku presiden gagal memposisikan dirinya sebagai pemersatu ditengah realitas adanya perpecahan di tengah masyarakat. Ajakan dirinya di hadapan ribuan relawan seakan mendeklarasikan sebuah pernyataan konyol yang pernah disampaikan oleh George Walker Bush sesaat Amerika Serikat melakukan invasi ke Iraq, sebuah ungkapan yang menjadi sebuah sesat fikir hingga saat ini, "Either you are with us or with terrorist ".

Kalimat Bush diatas tinggal di modifikasi menjadi," Either you are with us or with intolerant people" . Sebuah stigma negatif yang ditudingkan kepada sebagian warga negara yang kebetulan tidak memberikan dukungan moral kepada dirinya sebagai penguasa karena perbedaan sudut pandang dalam memandang dinamika yang ada di Indonesia.

Fragmentasi ini kian meruncing. Dua kubu berbalas menunggu "false wording incident". Indonesia hanya riuh saling bersahut dengan konten hanya untuk saling membalas. Kelas berpolitik yang diajarkan rezim hanya sebatas ini. Kasus-kasus kriminalisasi dan persekusi kepada sejumlah pihak yang di garda terdepan melakukan kritik kepada pola kebijakan yang diambil hanya melulu menunjukkan superioritas sebuah kubu atas kubu yang lain. Tidak ada terlihat sebuah reaksi yang membangun. Bahkan beberapa tangkapan digital terkait menurunnya angka elektabilitas petahana tentang upaya mengkapitalisasi masa lalu kubu penantang yang semakin membebani Indonesia dengan dendam yang tidak akan berkesudahan.

Serangan verbal dari kubu penantang yang kritis berupa tudingan bahwa  pola kebijakan pemerintahan yang doyan berhutang tanpa mengindahkan asas manfaat bagi bangsa yang kemudian dibalas dengan reaksi-reaksi yang jauh dari nilai-nilai pengajaran tentang berpolitik etik. Kubu petahana yang lebih lengkap sumber daya yang banyak ini malahan melakukan insinuasi berupa tindakan-tindakan yang nir-etis. Meskipun saling berbantahan, insiden pengrusakan baliho dan spanduk-spanduk Partai Demokrat di Riau menunjukkan kubu petahana memang lebih mengutamakan hard power dan mbambung, pamer kekuasaan. Ucapan nyinyir berbalas vandalisme.

Apakah Jokowi menyadari adanya realita tentang perpecahan masyarakat? Atau jangan-jangan Jokowi memang melihat ini sebagai sebuah fenomena yang wajar ditengah masyarakat yang euforia dalam berkontestasi. Jika itu yang terjadi, sebaiknya cukup satu periode saja ketimbang Indonesia berpecah menjadi negara Federasi.

Salam Ujung Fragmentasi!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline