"Speculation that Indonesia will be the next great economic and political power in Asia -- the so-called "Third Giant" -- has been growing over the past few years. This is more than just an obsession of academics, journalists and think tanks."
Di kutip dari artikel yang dipublikasi oleh http://indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au/why-indonesia-will-not-be-asias-next-giant/
*****
Semestinya aksi pengacungan kartu kuning oleh Ketua BEM UI masih dalam kategori low intention karena menggunakan pendekatan warna kuning. Warna ini dalam beberapa olahraga menjadi representasi sebuah peringatan keras terhadap pelanggaran dari rule of the game. Penulis masih melihat civitas academica atau beberapa lembaga eksekutif mahasiswa masih dalam fase ragu-ragu untuk memulai sebuah tekanan yang lebih keras kepada pemerintahan Jokowi yang sarat oleh pencitraan yang kebablasan. Keterlibatan media sebagai aksi dari smoke and the mirror bagi pekerjaan yang semrawut dan serampangan yang dikesankan sebagai sebuah kinerja atau pertunjukan dari kerja keras Jokowi.
Zaadit Taqwa seharusnya mengibaskan kartu merah dan meneriakkan mukadimah dari UUD 1945 tentang kemakmuran yang harus dihantarkan kepada seluruh rakyat Indonesia. Patgulipat tentang pertumbuhan 5.01% yang masih di anggap mentereng oleh Jokowi sepertinya menjadi indikator bagi pengamat dan akademisi dari luar negeri betapa Indonesia hanya terpagut obsesi untuk menjadi the next giant di kawasan Asia.
Pembangunan beberapa proyek infrastruktur yang nyaris memakan habis APBN dan bahkan membawa implikasi berduyun-duyunnya TKA ke Indonesia akibat dari perjanjian utang dengan beberapa negara donatur. Proyek yang menurut Kwik Kian Gie, seorang ekonom senior yang sebagian para pendukung Jokowi menyebut pria keturunan ini sebagai ultra-nasionalis sebagai proyek yang mengindahkan cost-benefit ratio. Pembangunan ugal-ugalan yang mengerek timbunan hutang kita nyaris 4000 trilyun rupiah tanpa memberikan dampak ekonomi bagi bangsa.
Beberapa insiden yang mengakibatkan beberapa kematian dan tragis seperti ambruknya crane untuk proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung dan terakhir longsornya under pass menutupi hampir seluruh bagian jalan. Di atas underpass tersebut merupakan rel kereta api Bandara Soekarno Hatta. Beberapa proyek yang di kebut ugal-ugalan tanpa melakukan sebuah analisa yang mendalam terkait potensi resiko yang mungkin kelak bisa terjadi.
Di zaman Jokowi semua proyek nyaris memiliki karakter Candi Roro Jonggrang yang memiliki cerita tentang fantasia dari seorang pria yang ingin merebut hati seorang putri cantik jelita. Sang putri mematok persyaratan nyaris bisa dipenuhi oleh Bandung Bondowoso yakni membangun seribu candi dalam semalam.
Dan sepertinya Jokowi terinspirasi oleh mitos bagaimana cara merebut hati Putri Roro Jonggrang yang memiliki kandungan mineral ribuan trilyun dollar, digenangi oleh jutaan barel minyak mentah dan jutaan ton ikan yang berkeliaran di setiap inci lautan yang mengelilingi Indonesia. Jokowi hendak menjadi Bandung Bondowoso yang kehilangan nalarnya untuk berkejar-kejaran dengan sang Waktu agar bisa mempersembahkan seribu proyek penuh mimpi yang satu demi satu mulai mangkrak berbau bangkai.
Zaadit masih terlalu lunak dan penuh metafora untuk merutuki keadaan yang jauh panggang dari api. Kematian puluhan balita akibat dari buruknya gizi semenjana Jokowi tengah --katanya-- membangun jalur berbiaya trilyunan rupiah. Kondisi yang paradoks ini tidak hanya terjadi di ujung timur Indonesia tapi nyaris menjadi anomali massif.
Membayangkan ratusan ribu beras impor mengguyur pasar sementara pertengahan Februari ini jutaan hektar sawah akan memanen hasil tanamnya. Entah apa yang menjadi baseline dari sekian banyak kebijakan yang teramat "cerdas" ini. Bahkan konon katanya Menteri Enggartiasto Lukita ngeloyor pergi berdalih ada rapat terbatas di Istana saat dibombardir pertanyaan oleh anggota dewan yang terhormat.