Bicara Revolusi Mental tidak bisa sekedar di cara menyebutkannya melainkan melihat apa isinya. Apa yang dibawa oleh jargon ini. Apakah sekedar menimbulkan riuh tapi kosong muatan. Mendingan seperti DN Aidit, menggelegar dan mampu mengamplifikasi apa yang ada di kepala pentolan komunis tersebut.
Lihat saja apa yang terjadi semenjak jargon tersebut digaungkan. Mulai dari rakyat harus menanam cabe di depan rumah jika pemerintah gagal mengendalikan harga komoditas. Lalu Setnov yang proaktif ingin menjadi makelar antara rakyat Indonesia dengan PT. Freeport Indonesia yang mengalir hingga ke MKD (mahkamah kehormatan dewan). Dan yang paling fenomenal saat rakyat yang marah karena agamanya di hina dan memilih pergi melihat proyek skala menteri. Untuk hubungan luar negeri dan kebetulan memiliki sisi spiritual yang sama dengan kaum mayoritas, sebut saja tragedi genosida di Myanmar.
Itulah Revolusi Mental. Jangan lihat kosmetika dan citra yang dihamburkan, lihatlah substansi yang berkelindan di dalamnya. Jangan-jangan jargon tersebut bukan pula miliknya sehingga gagap mewartakan sekaligus menerapkannya.
Bayi yang dipenggal, mayat anak-anak yang mengapung disungai dengan badan penuh luka. Perempuan yang alat kelaminnya bagaikan tempat pembuangan sampah adalah obyek yang seharusnya membuat kita berdiri bersama untuk mengutuk, mencegah atau paling terakhir adalah mengakhirinya dengan segenap ongkos yang diperlukan. Myanmar bagaikan sebuah kanvas dimana warna-warna yang selama ini gaung disebutkan.
Hak Asasi Manusia, Kesetaraan, Perlindungan Minoritas dan tentu saja Moral Pancasila. Mereka yang selama ini getol berteriak-eriak tentang betapa kelamnya kaum minoritas di Indonesia mendadak mingkem dan lupa ingatan. Bagi mereka Islam adalah mayoritas, dimana pun mereka berada dan memeluknya sebagai agama. Tidak ada perlindungan yang bisa diberikan. Tengok saja kasus Tolikara, dimana Islam adalah minoritas disana dan apa perlakuan yang diberikan oleh pemerintah.
Sebut lagi apa itu Revolusi Mental. Dan ini cara praktis untuk merasakan mual di pagi hari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H