"Le, simbok gak ikutan nyambut raja dari Ngarab sana ya? Ndak enak dwong karena simbok pernah ngoceh dan nglindur tentang ngarab dan ngislam. Karena ternyata memang ngarab dan ngislam itu ibarat diriku dan dirimu yang menyatu padu dalam cinta membahana."
*****
Kurang lebih demikian barangkali isi SMS, Blackberry messenger atau Whatsapp text dari seorang wanita tuwir, penuh lemak dan gelambir tapi rajin ngoceh tentang wong cilik. Wanita itu pendendam luar biasa. Sudah bertahun-tahun membenci tiada henti hingga di duga serangan last minutes kemaren adalah kulminasi dari dendam kesumatnya. Tololnya, sesaat setelah serangan sistimatis, well planned dan ciamik tersebut tidak menyebabkan piarannya bisa memenangkan kontestasi. Boro-boro satu putaran. Mungkin dia sedang lelah.
Hasutan yang berujung adanya eksodus TKA dari daratan Tiongkok pasca anak ideologisnya meng-ho'oh-kan permintaannya yang sambil merengek-rengek agar teman-teman tajir dari daratan bambu kuning itu bisa menginvestasikan dana yang tidak sebesar taksiran dana investasi dari King Salman. Perbedaan mendasarnya barangkali investasi dari daratan Tiongkok itu bisa ditumpangi oleh ratusan wajah oriental yang sulit di kenali oleh KPPS saat kemaren. Karena cukup bawa preman yang mengaku timses dan tim advokasi yang mengintimidasi petugas di TPS dan memamerkan e-KTP yang disinyalir buatan RRT dan Perancis. Atau jangan-jangan politik transaksionalnya ya sejumlah ratusan voters palsu itu bukan hanya semata sejumlah Yuan masuk ke rekening orang-orang sinting yang beberapa tahun lalu menjual murah Indosat dan kapal tanker Pertamina.
Apesnya simbok sih pake ngoceh ngalor ngidul kalo ngislam itu gak mesti ngarab. Eladalah selisih berapa hati koq tega-teganya ngadain istighosah, sebuah kegiatan islami dan ngarab banget. Ah simbok emang sudah pikun dan cenderung pelupa. Isuk dele sore tempe, begitu kata orang jawa.
Nilai investasi yang super duper dari orang ngarab yang berkunjung ini sepertinya akan melewati besaran nilai investasi si engkoh dari China. Berikut minus orang-orang berwajah seperti Habib Rizieq untuk ikut-ikutan nyoblos di putaran kedua nanti. Cukup sebagai simbol kepada anak lanang bahwa elo-gue bisa end! Demikian gesture politik dari ngarab. Kriminalisasi ulama dan memelihara masalah sensitif seperti pengaktifan kembali pasca telah duduk sebagai terdakwa sebagai penista agama yang dari ngarab sono hanya akan memantik perlawanan yang tidak akan berkesudahan.
Offside-nya Tito sebagai pelaku politik meskipun berdalih sebagai politik untuk bernegara hanya akan menjadi cibiran seumur hidup pria kelahiran Palembang ini. Padahal Tribrata adalah simbol terbebasnya Bhayangkara dari politik praktis dan hanya setia kepada negara bukan kepada pemerintahan yang bisa jadi hanya seumur jagung.
Yo wes-lah, namanya juga simbok dan anake lanang tho? Yang penting kawal saja sampai akhir hayat umur politiknya. Nanti tahun 2019 letakkan dia sebagai sebuah mata rantai buramnya sejarah kebangsaan. Udah tahu simboknya presiden gagal koq ya di tiru ngono lho?
Salam Ojo Lamis!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H