1. berikan penjelasan pengertian Hukum Perdata Islam Di Indonesia !
jawab:
Hukum perdata Islam Indonesia adalah suatu aturan yang diterapkan di Indonesia yang mengatur tentang hubungan antar manusia atau lembaga menurut syariat Islam guna melindungi hak-hak yang bersangkutan agar tidak ada yang dirugikan.
Hukum perdata Indonesia mengatur tentang masalah hak kebendaan dan hak-hak atas benda, aturan tentang jual beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, persyarikatan (Kerja-sama bagi hasil), pengalihan hak dan segala bentuk transaksi. Selain itu, hukum Perdata Islam Indonesia juga mengatur tentang pernikahan, wasiat, hibah, kewarisan, zakat, wakaf dan ekonomi Syariah.
Hukum Perdata Islam Indonesia merupakan hasil ijtihad ulama Indonesia mengenai Syariah Islam terkait hubungan muamalah antar manusia, yang telah di jadikan Undang-Undang yang harus ditaati oleh masyarakat Indonesia yang beragama Islam dalam hal keperdataan. Jadi bisa dikatakan bahwa hukum perdata Islam Indonesia adalah sebagian syariah Islam yang telah dijadikan undang-undang/ telah berlaku secara yuridis formal atau menjadi hukum positif dalam tata hukum Indonesia, yang isinya adalah sebagian dari lingkup muamalah.
2. jelaskan prinsip perkawinan dalam UU 1 tahun 1974 dan KHI !
jawab : Prinsip Perkawinan Dalam UU 1 tahun 1974 dan KHI
- Prinsip berdasarkan batas-batas yang ditentukan Allah. Kentetuan ini didasarkan kepada kemaslahatan bersama, bukan ditentukan oleh kepentian salah satu pihak sesuai dengan keinginanya sendiri. Prinsip ini bersumber dari Al-Qur'an yang mengatur tentang waktu yang dilarang untuk berhubungan suami istri, perceraian, talak, waris, perselisihan suami istri, tenttang sumpah dzihar. Ayat-ayat a-Qur'an yang berupa larangan terhadap sesuatu dalam hubungan pernikahan merupakan batas-batas yang diberikan Allah, agar manusia tidak melampau batas.
- Prinsip saling ridho (saling rela). Prinsip ini didasarkan pada al-Qur'an pada surat al-Baqoroh ayat 232 tentang bolehnya mantan istri setelah habis masa iddah untuk menikah dengan laki-laki lain. Selanjutnya dalam surat al-Baqoroh ayat 233 tentang dibolehkanya menyusukan bayi pada perempuan lain jika ayah dan ibu saling rela. Kemudian dalam surat an-Nisa ayat 24 tetang bolehnya suami menggunakan mahar yang menjadi hak istri jika keduanya saling rela. Dengan dasar-dasar hukum diatas maka suami dan istri dalam menjalani suatu pernikahan maka harus didasari dengan prinsip saling ridho/saling rela.
- Prinsip layak (ma'ruf). Allah swt sering menyebut kata ma'ruf dalam konteks pernikahan dan keluarga. istilah layak disini berarti sesuatu yang baik menurut norma sosial, dan ketentuan Allah. Jadi misalnya dalam pembagian harta warisan, hubungan sesksual suami dan istri, pengasuhan anak dan lain-lain dalam kehidupan keluarga harus dijalankan sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan, norma sosial, dan aturan agama.
- Prinsip berusaha menciptakan kondisi yang lebih baik (ihsan) Semua tindakan keluarga harus membuat semua pihak menjadi lebih baik. Bahkan dalam perkara percerain sekalipun seorang suami yang menceraikan istrinya harus dilakukan dengan cara yang membuat kondisi istri dan keuarganya menjadi lebih baik daripada ketika pernikahan itu dipertahankan.
- Prinsip tulus (nihlah) Prinsip ini muncul dalam konteks pemberian mahar oleh suami nkepada istri dalam beberapa masyarakat ada yang beranggapan bahwa mahar merupakan alat pembayaran atas istri, semakin tinggi nilai mahar semakin tinggi pula rasa memiliki suami atas istri. Dalam Islam mahar harus diberikan secara tulus dan bukan alat pembayaran untuk menguasai.
- Prinsip musyawarah. Suami dan istri harus bermusyawarah dalam menentukan hal-hal yang penting
- Prinsip ishlah (perdamaian). Prinsip ini menghndaki semua pihak dalam perkawinan dan keluarganya mesti mengedepankan cara-cara yang mengarah pada perdamaian bukan kekerasan.
3. bagaimana menurut pendapat anda tentang pentingnya pencatatan perkawinan dan apa dampak yang terjadi bila pernikahan tidak dicatatkan secara sosiologis, yuridis, dan religious ?
jawab :
Suatu pernikahan sangat penting untuk dicatatkan ke KUA, karena apabila pernikahan tidak dicatatkan maka akan menimbulkan beberapa dampak negatif diantaranya:
- Dampak sosiologis. Pernikahan yang tidak dicatatkan di KUA adalah pernikahan yang tidak normal dimasa sekarang. Biasanya pernikahan tersebut mengandung hal-hal yang tidak sesuai dengan undang-undang perkawinan, seperti umur calon mempelai yang belum dewasa dll. Hal ini tentunya akan menimbulkan respon masyarakat yang cenderung negative. Pasangan suami istri tersebut akan mendapat perlakuan yang tidak nyaman dari tetangga/masyarakat seperti akan menjadi bahan gujingan. Selain itu anak hasil dari pernikahan tersebut akan mendapatkan tekanan mental yang mana akan mengganggu perkembanganya.
- Dampak yuridis. Pernikahan yang tidak dicatatkan tentunya pernikahan tersebut tidak diakui oleh negara, sehingga suami dan isrei tersebut tidak akan mendapat buku nikah dan akta nikah, selain itu, mereka juga akan kesulitan dalam mengsurus surat-suratnya. Seperti akta kelahiran bagi sang anak. Pernikahan tersebut tentunya tidak mempunyai kekuatan hukum sehingga bila suatu saat terjadi perselisihan, maka tidak bisa diselesaikan oleh pengadilan, hal ini tentunya sangat merugikan sang istri.
- Dampak religius. Pernikahan yang tidak dicatatkan tentunya akan menimbulkan banyak kemudharatan. Sehingga hal ini melanggar ketentuan dari agama mengenai prinsip marsalah mursalah. Karena hal tersebut bisa saja pernikahan yang tidak dicatatkan di KUA dapat dihukumi haram karena akan menimbulkan banyak kemudharatan.
4. bagaimana pendapat ulama dan KHI tentang perkawinan wanita hamil?
jawab: Hukum Perkawinan Wanita Hamil Menurut Pendapat Ulama dan KHI yaitu:
- Hanafiyah bahwa hukumnya sah menikahi wanita hamil bila yang menikahinya lakilaki yang menghamilinya alasannya wanita hamil akibat zina tidak termasuk kedalam Golongan wanita-wanita yang haram untuk dinikahi, hal ini didasarkan pada Q.S. alNisa: 22, 23, 24.
- Ulama Syafi'iah berpendapat, hukumnya sah menikahi wanita hamil akibat zina, baik yang menikahi itu laki-laki yang menghamilinya maupun bukan yang menghamilinya. Alasanya karena wanita hamil akibat zina tidak termasuk golongan wanita yang diharamkan untuk dinikahi. Mereka juga berpendapat karena akad nikah yang dilakukan itu hukumnya sah, wanita yang dinikahi tersebut halal untuk disetubuhi walaupun ia dalam keadaan hamil. Imam Syafi'i dan imam abu Hanifah berpendapat sama bahwa perkawinan itu dipandang sah karena tidak terikat perkawinan orang lain atau bebas masa iddah dan juga wanita itu boleh dicampuri karena tidak mungkin nasab atau keturunan anak yang dikandung dalam wanita itu tercampur atau ternodai, dan status anak tersebut merupakan nasab atau anak dari wanita yang telah melahirkan dan bukan merupakan keturunan laki-laki yang telah menghamili wanita tersebut diluar nikah.
- Malikiyyah berpendapata bahwa wanita yang berzina, baik atas dasar suka sama suka atau diperkosa, hamil atau tidak, ia wajib istibra. Bagi wanita merdeka dan tidak hamil, Istibra'nya tiga kali haid, sedangkan bagi wanita budak istibra'nya cukup satu kali haid, tapi bila ia hamil baik wanita merdeka atau wanita budak istibra'nya sampai melahirkan. Dengan demikian ulama Malikiyyah berpendapat bahwa hukumnya tidak sah menikahi wanita hamil akibat zina, meskipun yang menikahi itu laki-laki yang menghamilinya, apalagi ia bukan yang menghamilinya. Bila akad nikah tetap dilangsungkan dalam keadaan hamil, akad nikah itu fasid dan wajib difasakh
- Hambaliah berpendapat bahwa hukumnya tidak sah menikahi wanita yang diketahui telah berbuat zina, baik dengan laki-laki bukan yang menzinainya terlebih lagi dengan laki-laki yang menzinainya, kecuali wanita itu telah memenuhi dua syarat yakni telah habis masa iddahnya. Jika dia hamil iddahnya habis dengan melahirkan kandungannya. bila akad nikah dilangsungkan dalam keadaan hamil maka akad nikahnya tidak sah. kedua, telah bertaubat dari perbuatan zina.
- Dalam KHI. perkawinan wanita hamil diatur dalam pasal 53 dalam 3 ayat yaitu : 1. seorang wanita hamil diluar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya, 2. perkawinan waniita hamil yang disebut dalam ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dulu kelahiran anaknya, 3. dengan dilangsungkanya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak perlu dilakukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandungnya itu lahir.
5. perceraian adalah perbuatan yang dibenci Allah dan halal, apa yang dilakukan untuk menghindari perceraian?
jawab: Adapun cara-cara yang dilakukan untuk menghindari perceraian adalah :
- Sebelum menikah mempelajari masalah-masalah yang mungkin terjadi saat berkeluarga, seringkali pertengkaran antara suami istri disebabkan karena kesalahpahaman antara mereka (komunikasi yang buruk). Maka hal yang harus dilakukan adalah belajar ilmu Komunikasi yang baik, seperti; belajar mendengarkan dengan baik, saling perhatian/pengertian, saling menghormati (tidak mementingkan egonya sendiri) dll.
- Bertanggungjawab. Bertanggung jawab bukan berarti memenuhi semua keinginan, akan tetapi memenuhi semua kebutuhan. Bertanggung jawab berarti melaksanakan kewajibannya masing-masing. orang yang bertanggung jawab pasti akan bekerja keras dalam membahagiakan dan mempertahankan keluarganya. Memahamkan sifat tanggung jawab kepada calon pengantin merupakan hal yang sangat penting. Hal ini bisa dilakukan oleh keluarga, ustadz, tokoh masyarakat, atau kepala KUA.
- Konsultasi terhadap orang yang hakam (bijaksana). Bila sudah menikah, dan terjadi masalah yang tak kunjung usai, maka sangat perlu seseorang yang hakam (bijaksana), untuk menyelesaikan/mendamaikan masalah tersebut. Disinilah peran wali nikah yang dibutuhkan, wali nikah harus bisa mendamaikan kedua belah pihak. Suami/istri harus berkonsultasi kepada orang yang bijaksana, bisa dengan keluarga, tokoh masyarakat, atau pemuka agama, untuk mencarikan solusi/untuk melunakkan hati masing-masing.
- Memahami tujuan pernikahan dengan baik, yaitu untuk beribadah kepada Allah, dengan begitu, seseorang akan bersungguh-sungguh dalam menjaganya (tidak main-main)
- Bersikap rasional. Dalam menghadapi masalah sebaiknya bersikap rasional dengan akal sehat dan tidak emosional.. Bersikap realistis tentang proses pemulihan setelah perceraian sangat penting. Pasangan yang bercerai perlu memahami bahwa pemulihan memerlukan waktu dan kerja keras, serta bersiap untuk menghadapi tantangan baru dikehidupan mereka.