Lihat ke Halaman Asli

Imam Muhayat

Karakter - Kompetensi - literasi

Sumpah Palapa Buah Waspada Keragaman Bangsa

Diperbarui: 18 Agustus 2024   04:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber detik.com

Sumpah palapa membeku di atas batu. Prasasti sakti ibarat pisau taji. Tumpul  di bara panas api. Batu merambat suhu. Selama puluhan windu berlalu. Batu pun menjadi abu. Badai angin mengaburkan mata. Kegelapan merata memenuhi angkasa. Hilang terang dihadang kegelapan.

Tak lama waktu berselang. Kapal kerakah memburu rempah-rempah. Siaga singgah di Tana Humba. Alfonso-Porto terkesima seperti layaknya melihat surga. Lalu, ia memasang perangkap jitu.

Pribumi pun pecah. Pasti juga kian lemah dan mudah dijajah.  Jejak penjajah betah berdiri seumur tujuh generasi. Tak ayal lagi luka nyeri menjadi catatan ibu Pertiwi.

Datang kemudian Sebastian del Cano. Tana Humba dibelah dua. Ternate juga Tidore meradang kesakitan. Tana Humba dibuat ladang perebutan. Bara api sesama penjajah muntah darah. Kuasa Cano tanggal di tangan Alfonso, hingga pasrah ia pindah ke Mindanao.

Alfonso, Daendels, Raffles, dan Hitoshi Imamura -- mereka sama saja. Semuanya gila ... Gila akan luasnya tanah air Indonesia. Gila yang terpendam di kedalaman Indonesia. Gila yang terendam di perairan Indonesia. Gila akan angkasa katulistiwa Indonesia. Gila akan populasi SDM Indonesia. Dan gila akan tarian kostum anak bangsa.

Aku bertanya... Gila yang bagaimana sejatinya mesti ada. Karena sedamai-damainya orang gila. Akan lebih damai orang yang tetap terjaga. Dan peka diri dan waspada di luar dirinya.

Imam Muhayat, 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline