Lihat ke Halaman Asli

Imam Muhayat

Karakter - Kompetensi - literasi

Merdeka Menjadi Cerah Cakrawala

Diperbarui: 16 Agustus 2024   10:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber CNN Indonesia.com

Pak Mar, veteran '45, menginjak usia senja. Ia masih saja setia menunggu warung kopinya. Beberapa tahun setelah istri tercinta tiada. Hiburan pelepas sepi ia sibukkan gerak seadanya. Ia rela ke-empat anak tercinta berada di kejauhan. Petak depan rumah menjadi tumpuan harapan. Nafasnya tersengal saat ia mengangkat barang. Tapi air muka tetap terlihat menyala.

Katanya datar sesaat aku menyela. Ia tetap melanjutkan apa yang ia bisa. Kata-katanya masih jelas kudengar. Meski terkadang sedikit kidal akibat banyak hilang deret giginya. Namun tak menghalangi derasnya cerita. Satu-satunya peristiwa yang masih menggelayut di pelupuk mata. Karibnya meregang nyawa. Kata terakhir lirih dari mulutnya hanya satu kata merdeka.

"Merdeka!!," suaranya mendadak kudengar seperti Auman singa belantara. Raut muka berubah menjadi merah. Rambutnya memutih satu hitam pun tak tersisa. Wajahnya merah ujung kepalanya putih. Sejenak aku memahami ini cahaya Illahi. Ia merengkuh fitrah hidup hakekat kaum sufi. Merah mencairkan nadi darah meredam kendali di pangkal ujung hati. "Merah darahku putih-lah jiwaku," tafsir-ku dalam profilnya.

Suatu saat fajar subuh tiba. Aku melihatnya  tafakur di depan mihrab. Ritual dijalaninya hingga menjelang cahaya mentari menyapa mayapada. Aku coba  mengintipnya dari kejauhan. Agar tak seolah-olah aku kepo sendirian. Nyatanya jalan panjang masih pula terus ia lakukan. Seolah-olah ia tak rela. Meski sejengkal waktu sirna tanpa sekerat tujuan. Lalu aku menerawang cakrawala. Merdeka itu apa ...

Imam Muhayat, 2024




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline