Lihat ke Halaman Asli

Imam Muhayat

Karakter - Kompetensi - literasi

Menulis Itu Sama dengan Ibadah

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Menulis adalah aktivitas transformasi kebahasaan yang dapat bernilai ibadah. Dengan menulis banyak yang dapat diserap dan diinformasikan kepada orang lain. Orang yang melakukan kegiatan tersebut disebut penulis. Terdapat dua kategoripenulis. Pertama penulis aktif dan kedua penulis pasif. Dalam konteks menulis yang bermakna ibadah, ciri-ciri penulis aktif adalah penulis yang dapat menyerap dan empatif masuk dalam konteks tulisannya, kemudian dapat mengambil manfaat dari apa yang ditulisnya. Setidaknya dapat memanfaatkan isi tulisan itu mewakili penulis sebagai sosok figur dalam tulisan.

Sebaliknya penulis pasif adalah penulis sekadar menjalin komunikasi di luar individu, akan tetapi tidak dapat mengambil manfaat isi tulisan. Akibatnya antara menulis atau tidak, sama sekali tidak mempengaruhi berbagai langkah-langkah dan karakter dalam kehidupan individunya. Tetapi karena kegiatan itu merupakan media komunikasi, dimungkinkan proses komunikasi itu dapat juga mempengaruhi di luar individu. Dengan demikian menulis tetap ibadah. Karena dengan tulisan yang memakai media bahasa itu mengandung respon. “Bahasa adalah suatu alat pada manusia untuk menyatakan tanggapannya terhadap alam sekitar atau peristiwa-peristiwa yag dialami secara individual atau secara bersama-sama”. (Keraf, Linguistis Bandingan Historis, 1996: 23).

Dalam ungkapan lain menyoroti tentang aktivitas tersebut juga diungkapkan dalam al-Qur’an, 61:2, mengisyaratkan adanya tuntutan kesesuaian antara apa yang difikirkan dengan apa yang dinyatakan. Sebagian filsuf mengungkapkan, “Makna kehidupan manusia adalah perjalanannya menuju Tuhan, melalui komunikasi dengan manusia lain. Jalan itu sulit dan manusia senantiasa gagal dalam maksud serta usahanya, namun ia boleh berharap pada Tuhan yang menarik kepada-Nya orang yang percaya”. (Weij, 1998, Filsuf-filsuf Besar Tentang Manusia: 148).

Dipercayai bahwa kegiatan menulis adalah suatu ikhtiar untuk melanggengkan peradaban manusia, sehingga kegiatan tersebut tidak pernah lepas dari konsep mengumpulkan, menyajikan, menganalisis, dan menyimpulkan serta mengevaluasi berbagai kebaikan-keindahan dalam bentuk penataansistemik aplikatif. Konsep tersebut tentu dilandasi dengan logika praktis, sehingga selalu dapat dipahami dan dapat diterapkan untuk tujuan sistemik praktis itu. Dunia dengan penghuninya yang dilatarbelakangiberbagai macam karakter, tentu memerlukan tatacara, generalisasi konvensi etik agar dapat mengendalikan realitas kehidupan. Tegasnya adalah, “Menulis adalah perbuatan kreatif. Perbuatan kreatif pada dasarnya tidak dapat dipisahkandengan nilai-nilai, baik nilai estetika, logika ataupun etika”. (Asy’arie, 1992, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Quran: 133).

Menulis tidak dapat dipisahkan dari kegiatan membaca. Sehingga dalam Islam, kegiatan membaca dan menulis diungkapkan dalam “fiil amar” berarti kalimat perintah yang datang dari Allah SWT. Sebagaimana diterangkan dalam al-Qur’an, 96: 1-5, membaca dan menulis sebagai aktualisasi seorang hamba untuk membesarkan eksistensi-Nya di antara bentangan kesemestaan. Aktivitas menulis tidak terlepas dari bahasa. Karena itu, penulis haruslah menguasai bahasa disamping penguasaan ilmu-ilmu yang lain. Pepatah mengatakan, “Ilmuan tanpa menguasai bahasa yang terungkapkan secara lisan dan tertulis dengan efektif bagi sesamanya, maka sama dengan sapi tambun. (Parera, Linguistik, 1986: 119).

Begitu pentingnya kegiatan membaca dan menulis, yang merupakan aktivitas sinergi visual indrawi integral perfektif, maka banyak ikhtiar yang dilakukan olehpemegang otoritas regulator terus mendorong terjadinya suatu proses tersebut. Bentuk dan modelnya berbeda-beda, akan tetapi mempunyai tujuan yang sama,yakni membangun suatu lintas komunikasi lewat bahasa tulis yang diyakini memberikan ruang yang lebih efektif dibandingkan dengan bahasa lisan. Perlu disadari bahwa sebuah tulisan tidak akan mempunyai pengaruh dengan isi yang dikandungnya, apabila karya tulisan tersebut tidak keluar dari bilik sang penulis.

Karena itu karya tulis yang keluar dari bilik sang penulis akan beralih menjadi karya yang bermakna arsip. Tentu akan berfungsi sebagaimana mestinya sesuai visi dan misi tulisan tersebut. Menurut Undang-undang No. 7 tahun 1971, arsip adalah: “Naskah-naskah yang dibuat dan diterima oleh Lembaga-lembaga dan Badan-badan pemerintahan/swasta/perorongan dalam bentuk dan corak apa pun, baik dalam keadaan tunggal maupun berkelompok, dalam rangkakehidupan kebangsaan”. (Amsyah,1990, Manajemen Kearsipan: 2).

Di era modern dengan kelengkapan teknologi canggih yang memungkinkan suatu karya tulis dapat diakses begitu mudahnya keluar dari bilik sangpenulis, maka fungsi karya tulis dapat bermakna mata pisau analisis, informatif, kontrol sosial, dan fungsi lainnya. Namun, prinsip penting dengan karya tulis itu adalah membangun peradaban normatif pada setiap ciptaan Sang Adikodrati, (Al-Qur’an, 31: 17). Dalam buku Pengantar Studi Public Administration diungkapkan, “Jika kita akan memenuhi tuntutan-tuntutan dunia peradaban masa kini, maka pemikiran administrasi (tulis-menulis: redaksi) haruslah menegakkan suatu hubungan kerja yang hidup dengan setiap bidang utama dalam alam keilmuan manusia.(Waldo, 1991: 158).

Memperhatikan keberadaan makna arsipsebagai bagian kegiatan tulis-menulis tersebut di atas, tentu selanjutnya akan lebih terjaganya perencanaan, konsep, tindakan, dan langkah-langkah lanjut yang harus dilakukan dalam semua kegiatan, baik individu dan bersama-sama yang terprogram dan berkelanjutan. Disadari sekarang ini kita hidup dalam era sejarah, berbeda saat masa kehidupan prasejarah yang serba gelap dan tertutup. Maka, di era kekinian dalam konteks apa pun memerlukan konsep tulis-menulis sebagai kiat untuk menjaga stabilitas dan kelangsungan peradaban dan kebudayaan yang kita lakukan. Untuk mencapai hal di atas maka perlu ditumbuhkembangkan energi kualifikasi kecerdasan intelektual, kualifikasi social, dan kesungguhan semangat untuk memperoleh berbagai kebaikan. Entitas performa alfabetis yang bersifat transformati tersebut penting, sebagaimana diungkapkan dalam buku The History of Management Thought:

The man whose whole life is spent in performing a few simple operations … naturally loses, therefore, the habit of (mental) exertion, and generally becomes stupid and ignorant as it is possible for a human creature to become …. His dexterity at his own particular trade seems….to be acquired at the expense of his intellectual, sotcial, and martial virtues. (Wren, 2004: 35).

Sudiati dan Widyamartaya memberikan alasan bahwa kepengarangan merupakan prasarana pokok bagi pengembangan ilmu, pertumbuhan kesusastraan, dan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Keduanya memberikan argumentasi, bahwa para pengarang yang menghasilkan karya tulis secara produktif dan berkualitas tinggi merupakan salah satu sumber manusiawi pembangunan yang penting bagi kemajuan bangsa Indonesia. Sayang sekali, penulis Kamus Bahasa Indonesia untuk Karang-Mengarang ini menyesalkan, bahwa sampai sekarang bidang pengetahuan karang-mengarang belum mendapat perhatian utama di Indonesia, sehingga pengarang Indonesia masih tumbuh lambat satu demi satu secara alamiah tanpa pendidikan khusus, pengajaran teratur, dan pembinaan terarah. (Baca: V. Sudiati – A. Widyamartaya, 1983: 3). (28/2/14)-Wallahu a’lam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline