Terkadang, saya suka bertanya-tanya mengenai: Kenapa ya, di film-film harus banget ada pengotak-ngotakkan bahasa? Maksudnya gimana? Gini, biasanya di film-film khususnya FTV yang suka diputar di stasiun TV, pembangunan karakter seringkali dibangun melalui sarana etnis atau kesukuan. Misal, orang Jawa, Sunda, dan Betawi identik menjadi orang yang ndeso, miskin, pembantu, atau tukang ojek. Suku Batak biasanya jadi tukang tambal ban atau kerja di bengkel. Suku Madura itu tukang sate. Sementara orang "Kota" yang memiliki aksen bahasa Indonesia yang baik dan benar menurut kebanyakan orang, menjadi bos atau kerja di gedung-gedung tinggi.
Tontonan seperti ini berbahaya, karena bisa meracuni persepsi kita mengenai kesukuan dan khususnya bahasa yang direpresentasikan secara sewenang-wenang oleh film-film FTV tersebut.
"Oh, jadi kalo orang Jawa itu yang begini ya?"
"Oh jadi kalo orang Sunda, Batak, Madura, Betawi itu gini ya?"
Itu buruk, karena outputnya besar kemungkinan akan menimbulkan diskriminasi etnis dan bahasa.
Sebagian orang sudah merasakan hal itu. Saya berikan satu contoh kasus yang pernah saya alami dulu ketika masih sekolah dasar. Saya lahir di Kebumen. Kota pesisir kecil yang terletak di selatan Jawa Tengah. Kebumen adalah daerah yang termasuk ke dalam Karesidenan Kedu, dengan bahasa ibunya adalah bahasa Banyumasan, atau yang jamak dikenal oleh kebanyakan orang sebagai bahasa Ngapak. Seperti yang kita semua tahu, bahasa ngapak memiliki aksen yang sangat khas. Berbeda dengan dialek Solo-Jogja, apalagi Surabayaan. Bahasa Ngapak itu tegas, huruf A tetap dibaca A, tidak menjadi O. Huruf K di akhir kalimat juga tetap dibaca K, tidak menjadi medok seperti dialek Solo-Jogja. Selain itu, kosakata yang paling terkenal dari bahasa Ngapak adalah kata "enyong" atau "inyong," yang memiliki arti aku atau saya.
Ketika saya mengenyam bangku sekolah dasar di daerah Jabodetabek, saya sempat dibuli perihal bahasa Indonesia saya yang khas orang Jawa banget: Medok dan lain sebagainya. Apalagi, kata "enyong" masih suka terbawa. Dikatain Jawa lah, medok lah, wong Ngapak lah. Pada saat itu, anak kecil dengan kondisi psikologis yang masih rapuh pasti mentalnya terguncang. Dan semenjak hari itu, saya bertekad untuk mengubah aksen saya. Dalam pikiran saya, saya ingin menjadi seperti teman-teman lain yang dialek bahasa Indonesianya bagus tanpa ada unsur-unsur kedaerahan tertentu. Dan benar saja, lambat laun dialek Ngapak perlahan hilang dari diri saya, dan susah sekali untuk menggunakan dialek itu kembali. Saya bisa berbicara dalam bahasa Ngapak, tapi tidak dengan aksen Ngapak yang hilang tersebut.
"Ora Ngapak ora kepenak." Di antara kalian pasti ada yang sudah tidak asing dengan tagline itu, kan? Slogan tersebut benar agaknya. Bahasa Ngapak menurut saya adalah bahasa yang paling ekspresif sedunia. Di mana ketika kita berbincang, banyak kosakata khas yang hanya ada di bahasa Banyumasan itu. Intonasi dan nadanya pun bisa membuat pelakunya lebih menjiwai dalam sebuah percakapan. Dan ya, sebagai orang asli Karesidenan Kedu yang dialek Ngapaknya hilang karena trauma masa lalu, itu sangat menyedihkan.
Sekarang, coba kita berkontemplasi sejenak mengapa rakyat satu bangsa dan setanah air, yang tinggal di Indonesia dan menginjak tanah Jawa mengolok-olok orang dengan bahasa Jawa dan dialeknya yang khas? Menurut saya, salah satu faktornya adalah dari tontonan. Melalui FTV-FTV dengan cerita klise di stasiun televisilah penggiringan opini dan persepsi-persepsi tidak bertanggung jawab itu menyebar pada pemahaman orang-orang awam. Membangun stereotip liar yang mencederai kedaerahan. Ini miris dan berbahaya. Padahal, Indonesia adalah negara yang tersusun oleh beragam suku bangsa dan kebudayaan. Dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote berjajar pulau-pulau dengan suku yang berbeda-beda pula. Kenapa saudara sebangsa malah saling mengejek, menganggap kelompoknya lebih superior ketimbang yang lain?
Bahasa daerah, tradisi, budaya, dan ciri khas suatu daerah itu adalah variabel yang membuat negeri kita besar. Itu adalah harta paling berharga yang kita punya. Seharusnya dijaga dan dilestarikan. Mirisnya, sekarang banyak anak muda yang tidak bisa bahkan tidak peduli dengan bahasa daerahnya. Mereka malu dengan ciri khas kedaerahannya. Dan ini seperti yang saya sebut tadi, miris dan sekaligus bahaya.