Lihat ke Halaman Asli

Imam Kodri

TERVERIFIKASI

NU Kembali Kepada Tradisi Musyawarah, AHWA Paling Dekat dengan Pancasila

Diperbarui: 11 Agustus 2015   22:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Awal bulan Agustus 2015 warga nahdliyin akan mengadakan Muktamar yang ke 33 di Jombang Jawa Timur. Pada Muktamar NU akan menampilkan gaya demokrasi NU yang khas “ahlul halli wal aqdi” dalam memilih Rois Am Syuriah. Pada intinya merupakan hakekat paling dasar demokrasi dari dasar negara kita yaitu Pancasila yang sudah sampai pada taraf ke aliman, kearifan dan kezuhudan.

“Ahlul Halli wal Aqdi” dapat diibaratkan sebuah badan legislatif yang diberikan kepada orang-orang pilihan Nadliyin yang mempunyai kadar ilmu agama yang mumpuni, bahkan lebih dari seorang profesor sekalipun. Disamping keilmuwanan yang tinggi, mereka yang duduk dalam ahlul halli wal aqdi secara hakekat sudah menempati maqam kewalian (catatan seharusnya begitu). Gelar populer yang disandangnya adalah Kiai, tentunya Kiai yang wara, zuhud, arif, dan alim.

Jumlahnya sembilan orang Kiai, yang sering digolongkan masuk jajaran Kiai Sepuh. Jadi bukan sekedar Kiai yang menguasai kitab-kitab kuning saja, tetapi sudah memiliki tingkat kharisma yang dapat mempengaruhi dan membawa masyarakat NU di tanah air menjadi pengikut setianya.

Pada Muktamar kali ini AHWA diberikan kewenangan oleh warga nahdliyin peserta Muktamar untuk memilih seorang Rais Am. Langkah ini berbeda dengan pemilihan Rais Am pada muktamar-muktamar sebelumnya yang lebih memilih secara langsung oleh muktamirin. Tentu ada alasan kuat kenapa ?

Pertama: Untuk tetap menempatkan kedudukan yang luhur para ulama, karena selama ini pemilihan langsung Rais Am hanya membawa banyak dampak negatifnya dari pada positipnya. Terjadi banyak trik, rekayasa kandidat dengan pencitraan oleh pendukung-pendukungnya dan dikhawatirkan muncul permainan politik uang untuk memenangkan pilihannya.

Cara ini jelas dapat menjatuhkan kedudukan para ulama, dan bertentangan dengan sifat-sifat seorang Kiai apalagi bila mereka sudah dikategorikan Kiai Khos. Opo Tumon Kiai kok saling main duit-duitan, saling memoles diri pribadinya?

Kedua: Belajar dari pengalaman pemilihan langsung ternyata cenderung adu domba antar Kiai dan pada gilirannya berdampak saling menjatuhkan. Kalau dibiarkan tidak ada lagi perbedaannya antara Poli-tikus Senayan dengan Kiai Khos.

Watak saling menjegal dan adu domba jelas bukan habitatnya para santri dan warga nahdliyin apalagi para Kiai. Jika cara pemilihan langsung diteruskan, akan menghasilkan budaya pesantren dan nahdliyin menjadi tukang hasut, profokator, dan bertampang beringas.

Ketiga: Menjaga keutuhan NU dari perpecahan akibat usaha orang-orang yang berambisi mengejar jabatan di NU dalam motif dekat dengan penguasa, ujung-ujungnya untuk kepentingan pribadinya. NU miliknya bangsa Indonesia bukan miliknya politikus-politikus buta nurani, dan NU tetap akan menjaga NKRI.

Keempat: Sistem ini yaitu mengembalikan tradisi musyawarah Nahdliyin dijadikan pilihan untuk menghindari potensi perpecahan ditubuh NU, terutama potensi campurtangan politik penguasa lebih besar bila memakai metode pemilihan langsung. Dalam khitah NU jelas-jelas mengembalikan organisasi sosial keagamaan kehabitatnya, tidak berpolitik praktis.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline