Lihat ke Halaman Asli

Imam Kodri

TERVERIFIKASI

Gawat, Konflik Kian Panas, Keraton Yogyakarta Kini Punya Dua Raja?

Diperbarui: 16 Juli 2015   13:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

[caption caption="TEMPO/Pius Erlangga."][/caption]

Dua setengah bulan setelah Raja Keraton Yogyakarta Sultan Hamengku Bawono X mengeluarkan sabda raja, konflik terkait sabda itu belum selesai. Kini, konflik kian memanas karena kelompok penentang sabda raja menempuh langkah mengejutkan, yakni mengukuhkan Gusti Bendara Pangeran Haryo Prabukusumo, adik tiri Sultan HB X, sebagai Raja Keraton Yogyakarta. "Konflik yang muncul sesudah sabda raja Sultan tampaknya makin mengeras. Jika sebelumnya perselisihan itu hanya melibatkan pihak internal keraton, sekarang orang luar mulai ikut campur. Bahkan ada yang berani mengukuhkan raja baru," kata Ketua Dewan Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta Djoko Dwiyanto, Senin (13/7), di Yogyakarta. YOGYAKARTA, KOMPAS

Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat memang unik, penuh sensasi dan menghibur. Unik karena wilayah kecil sisa revolusi kemerdekaan yang masih diberikan legalitas oleh pemerintah dan rakyat Indonesia tentang Kedudukan dan keberadaannya sebagai daerah Istimewa. Sejak Pemberlakukan UU Nomor 13/2012 tentang Keistimewaan DI Yogyakarta, Sultan dan Wakilnya harus melepaskan jabatan politiknya dan larangan kepada Gubernur dan Wakil Gubernur DI Yogyakarta yakni, Sri Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam, untuk berpolitik.

Konsekuensinya pemerintah dan rakyat Indonesia harus menggelontorkan sejumlah dana untuk pemeliharaan keistimewannya itu, yang meliputi urusan pelestarian seni dan budaya. Nilainya cukup fantastis. Sebagai pembanding Papua yang kaya raya saja jauh lebih kaya dari Yogya mendapat dana otonomi khusus sekitar 3 T. Berapa yang diterima Yogya sebagai daerah Istimewa tetapi miskin sumber daya alam atau malah tidak punya sama sekali SDA, ternyata mendapat jatah sampai 1,5 T. Namun harus dibayar mahal oleh pemilik nya.

Sultan Yogya dan Wakilnya tidak boleh ikut-ikutan berpolitik, itu artinya sultan Yogya harus rela kehilangan salah satu hak dasar yang dimiliki oleh setiap warga negara Indonesia, yaitu hak dipilih dan memilih. Ra po po itu jawabannya, baginya yang penting duwit bisa mengucur ke Kas Yogya lumayan untuk biayai kelestarian seni-seni dan budaya Jawa. Seperti layaknya seorang anak emas yang miskin potensi, akan tetapi uang sakunya justru sangat besar dibandingkan wilayah Papua yang kaya SDA tetapi hanya mendapat sedikit bagian kecil dana Negara, itupun pada hakekatnya berasal dari uang freeport atau kekayaan bumi Papua lainnya.

Mungkin karena Yogya akan selalu mendapat uang yang begitu besar dari negara, maka para keturunan sultan Yogya malah semakin tidak tenang dalam posisinya sebagai penjaga keistimewaan Yogya. Satu kursi untuk raja Yogya sekarang sedang menjadi rebutan. Satu pihak dari keluarga adik sultan Pabu Kusumo menolak usaha sultan ke X yang berusaha melanggengkan kekuasaannya melalui trik politiknya dengan mengeluarkan sabda raja yang hingga kini masih menjadi polemik panas ibarat bara dalam sekam.

Memang tidak mudah didinginkan, sebab dimasing-masing kubu pasti ada kelompok yang memprofokasi, emosional dan tidak mau kalah. Seperti yang ditunjukan oleh sekelompok yang bersimpatik kepada Prabu, baru-baru ini mengadakan acara pengukuhan Gusti Bendara Pangeran Haryo Prabukusumo sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono XI. Namanya saja darah muda, semangatnya masih muda, tindakanyapun jelas menunjukan keemosian golongan muda. Seperti yang dikatakan oleh Romo Tiru salah seorang keturunan HB VIII, penobatkan Gusti Prabu sebagai raja tanpa kehadirannya.

Tetapi yang menjadi sumber kekisruhan keluarga sultan Yogya sebenarnya adalah manuver politik Sultan sendiri yang terindikasi ingin melanggengkan kekuasaannya di Yogya. Peristiwa ini bermula ketika Sultan HB X mengeluarkan sabda raja pada 30 April 2015, antara lain berisi perubahan namanya dari Hamengku Buwono menjadi Hamengku Bawono. Adapun pada 5 Mei 2015, Sultan HB X mengeluarkan dhawuh raja yang berisi perubahan nama putri sulungnya, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Pembayun, menjadi GKR Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng Ing Mataram. YOGYAKARTA, KOMPAS

Banyak pihak menilai, perubahan nama itu dapat diindikasikan bahwa Sultan HB X menyiapkan sang putri sebagai penggantinya. Sejak saat itulah perpecahan terjadi, pihak-pihak yang menentang sultan cukup banyak dan beragam antara lain: Romo Tirun (Kanjeng Raden Tumenggung Jatiningrat cucu Hamengku Buwono VIII), Penghageng Tepas Dwarapura Keraton Yogyakarta, Pihak di luar keraton tetapi mengaku masih trah Pemenahan, Aktivis Sekretariat Bersama (Sekber) Keistimewaan, Komandan organisasi sayap sipil keraton, Paguyuban Seksi Keamanan Keraton (Paksi Katon), Muhammad Suhud, Ketua Dewan Penasihat Paguyuban Dukuh se-Kabupaten Gunungkidul.

Itulah cikal bakal perseteruan Sultan Yogya dengan adik-adik Sultan yang di komandoi oleh Haryo Prabukusumo. Kini sisinyalir pihak luar keraton ikut campur dalam urusan keluarga. Jika salah seorang salah seorang keturunan HB VIII menyebutkan bahwa ada yang sengaja memasukan unsur-unsur pemecah-belah dan mengadu domba santara Sultan dengan adik-adiknya, maka Yogya benar-benar diambang perpecahan terbuka.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline