Pilkada DKI telah usai digelar, hasil perjuangan super damai umat Islam dalam tuntutan penegakan hukum dan keadilan melalui "demo" 212 akhirnya berhasil mengantar Anies Baswedan menjadi orang nomor satu di DKI. Suara ratusan ribu, bahkan ada yang menyebutkan sampai jutaan umat Islam, mereka mengaku bukan dari Muhamadiyah, mereka juga mengaku bukan dari NU maupun organisasi massa Islam mainstream lainnya seperti Persatuan Islam, Al-Irsyad, Al-Islmiyah, Arrobithoh Al-Alawiyah, dll.
Pada Jum'at yang keramat semuanya bergerak dalam satu irama takbir "Allahu Akbar", dan bersama mereka pula Presiden kita Joko Widodo ikut naik panggung meneriakan "Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar", demikian alim dan cerdas apa yang ditunjukkan oleh Jokowi kepada dunia bahwa Presiden Indonesia Joko Widodo beserta Panglima Abri, Kapolri dan dan Pejabat tinggi TNI, Polri serta beberapa menteri menunjukkan inilah Indonesia yang menjunjung tinggi Demokrasi.
Mulai detik itu juga penilaian berbalik menjadi 180 derajat bahwa Presiden Jokowi ternyata tidak seperti yang digambarkan oleh para komunitas bumi datar. Nyata dan jelas sekali muka keriput dan kecewa si Imam Besar RS sangking terkejut dan kecewanya ternyata Jokowi mempunyai keberanian jauh diatas dirinya. Untuk membuat takut dan keder pemerintah GNPF -- MUI telah mengerahkan ratusan ribu orang pendemo dan dana ratusan milyar ternyata tidak berhasil bahkan gagal total (1).
Jokowi ternyata tidak bisa dipermainkan, kecerdasannya membuat Jokowi tidak bisa ditipu. Gertakan si Imam Besar RS dengan meminjam 212 yang tidak membuat takut Jokowi, tuntutan-tuntutan kepada Presiden Jokowi yang sudah dihafal diluar kepala hilang tak berbekas.
Apa yang bisa kita tarik dari peristiwa itu dalam rangka untuk pembelajaran politik. Pertama tentu saja sifat kepemimpinan Joko Widodo, setiap langkah tidak tergesa-gesa terutama pengambilan keputusan, bukan berarti beliau tidak tegas, akan tetapi memang terburu-buru adalah sifat setan yang tidak boleh ditiru.
Presiden Jokowi, adalah seorang pemimpin ulung ahli siasat dan strategi sehingga mampu meredam semua peristiwa yang sering menghadang dan menjegalnya baik dari kelompok atau komunitas haters, partai politik yang tidak sehaluan dengan beliau, maupun tokoh-tokoh yang berseberangan seperti Fahri Hamzah, Fadli Zon, bahkan termasuk tokoh tua kadaluarsa Amien Rais yang paling sering mendendangkan irama fitnah dan suara sumbangnya.
Jokowi adalah seorang pemimpin yang mendamaikan dan mempersatukan dari yang berbeda. Bukankah DPR yang semula seperti anak TK (kata alm Gus Dur) kini berangsur-angsur menjadi baik dan konstruktif walaupun disana-sini masih ada lobang-lobang kinerjanya yang buruk. Ribut --ribut soal pansus KPK, kemelut legislasi, Perpu Ormas, persoalan Presidential threshold, yang sedikit mengganggu Jokowi.
Namun Jokowi bukan membalas dengan keburukan, sebaliknya malah menyetujui kenaikan Dana Partai Politik yang sebelumnya hanya Rp 107 per suara menjadi Rp 1.000 per suara sah (2), tentu saja disertai pengawalan dan pengawasan yang ketat oleh pemerintah. Itulah hebatnya Jokowi yang mustahil bisa ditiru oleh gaya kepemimpinan model Prabowo Subianto.
Tidak terbersit rasa irihati dan dengki, penuh perhitungan sehingga cara melepas orang-orang pilihannya karena ada konflik internal partai tanpa sedikitpun menimbulkan gejolak bagaikan menarik sehelai benang dalam tepung. Ada hal penting yang sangat sedikit orang mengetahui yaitu terkait melepas orang terdekatnya yang dari awal selalu mendampingi dan ikut merumuskan strategi kemenangannya Jokowi, Anies Baswedan.
Yang sebenarnya Anies Baswedan bukan diberhentikan karena kasus dana sertifikasi guru, atau Frankfurt Book Fair 2015, atau bedah buku yang berkaitan dengan rencana permintaan maaf pemerintah kepada para korban tragedi kemanusiaan 1965-1966, yang melibatkan militer, tetapi Pemerintahan Jokowi-JK punya kepentingan atau agenda lain yang lebih besar terkait Anies (4).