[caption id="attachment_380890" align="aligncenter" width="620" caption="PM Australia, Tony Abbott, menarik Dubes Australia Paul Gibson dari Jakarta setelah duo Bali Nine dieksekusi. | (Reuters)"][/caption]
Negara mana sih yang tidak ingin mempunyai negara tetangga yang baik, saling menghargai, saling menghormati. Indonesia sangat beruntung mempunyai negara tetangga yang tergabung dalam persatuan negara-negara Asia Tenggara, Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Mianmar, Laos, Kamboja, Filipina, Brunai Darussalam, Vietnam, Timor Leste, mereka hidup bertetangga selalu menjaga martabat dalam dalam hubungan antarnegara, tidak saling menjatuhkan dan selalu menghormati kedaulatan hukum satu dengan lainnya.
Indonesia di samping mempunyai negara tetangga yang baik, ada juga satu tetangga negara seperti Australia yang sering ngajak bersitegang, banyak sekali ucapan dan sikapnya, bahkan tindakannya sangat menyinggung perasaan bangsa Indonesia.
Australia bukan saja merupakan tetangga yang tidak baik untuk Indonesia bahkan termasuk di seluruh kawasan Asia Tenggara. Dari sudut geografis dialah satu-satunya negara bermadzhab budaya Barat yang paling dekat dengan wilayah Asia Tenggara, akan tetapi paling sedikit manfaatnya untuk Asia Tenggara khusunya untuk Indonesia.
Berbicara Australia Lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Lebih banyak merusaknya daripada membangunnya. Stabilitas di kawasan Asia Tenggara khususnya Indonesia, bagi Australia bisa dujadikan lahan bisnis bisa diperjualbelikan. Dalam politik luar negerinya, Australia terlalu condong kepada kepentingan Barat khususnya Amerika Serikat. Apa pun dilakukannya untuk Barat, contohnya penyadapan yang dilakukan Australia kepada Indonesia dipandang telah merusak stabilitas kawasan oleh aksi spionase Australia.
Saat ini hubungan antara Indonesia dengan Australia sedang memasuki kondisi buruk yang kesekian kalinya.
Apalagi setelah MS dan AC terpidana mati akhirnya dieksekusi oleh POLRI pada Rabu tengah malam 29/4/15. Australia semakin berang sejak permintaan Pemerintah Australia untuk membatalkan eksekusi mati terhadap 2 orang warga negaranya MS dan AC, yang ditolak Presiden Jokowi.
Yang dihadapi Australia saat sekarang adalah Presiden Jokowidodo. Seorang pemimpin yang tidak takut mati. Apalagi hanya bentuk ancaman. Di balik gaya nrimonya yang sering ditunjukkan beliau di depan umum, ternyata terkandung kekuatan yang taktergoyahkan oleh siapa pun dalam memegang teguh prinsip kebenaran. Presiden Jokowi apa pun cercaan dari Australia, masih bisa menahan diri dengan baik, bahkan secara halus, tetap memberikan alasannya kenapa eksekusi mati tetap dijalankan;
Pertama; eksekusi terhadap AC dan MS harus dilakukan karena yang bersangkutan adalah pengedar narkoba tergolong sangat berat.
Kedua; Indonesia dalam kondisi darurat narkoba, bahwa setiap hari sedikitnya 50 warganya mati akibat narkoba.
Ketiga; Jokowi semata-mata sedang menjalankan penegakan hukum dan keadilan di Indonesia, Jokowi tidak ingin disebut pemimpin yang tidak amanah. Sebab rakyat telah mengamanatkan agar Narkoba ditumpas sampai ke akar-akarnya, dan dikenakan hukuman yang maksimal kepada pengedarnya.
Keempat; dalam pelaksanaan eksekusi mati bagi 9 para narapidana mati kasus narkoba, Indonesia tidak sedikit pun melanggar hukum Internasional.
Kelima; Jokowi lebih mementingkan masa depan bangsanya dari kejahatan narkoba dari sekedar mendengarkan kicauan Tony Abbott.
Dalam kondisi hubungan diplomatik yang panas, Tony Abbott tidak mau tau penjelasan Presiden Jokowi. Australia membuat tindakan balasan terhadap Indonesia. Yaitu:
pertama; Australia harus menarik Dubesnya dari Indonesia,
kedua; Tony Abbott juga mengancam pemerintah Jokowi akan memotong dana bantuan US$ 600 juta yang akan diberikan kepada Indonesia tahun 2015,
ketiga, Australia akan menarik diri dari pertemuan tingkat tinggi dua negara antara Indonesia dengan Australia,
keempat; Australia akan menolak memberi dukungan kepada Indonesia di forum Internasional.
Apa Reaksi Indonesia
Pemerintah Indonesia tetap bersikap menahan diri, tidak ikut membalas dengan cara seperti yang sedang ditempuh pemerintah Tony Abbott. Indonesia memahami sikap Australia, bangsa kulit putih, yang selalu memandang Indonesia sebagai musuh harus selalu dicurigai.
Di masa pemerintahan Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudoyono (SBY), Presiden dan seluruh jajaran kementeriannya lengkap dengan keluarganya telah disadap oleh Australia sejak 2004. Dan tidak sedikit pun ucapan maaf yang keluar dari mulut Tony Abbott. Di balik lepasnya Timor-Timur dari Indonesia, ternyata peran Australia sangat sentral.
Australia menganggap Indonesia sebagai bawahannya atau pesuruhnya, sedikit pun tidak menghargai sebagai negara bertetangga yang sederajat. Presiden Jokowi, dan seluruh rakyat Indonesia sangat memahami dan berkeyakinan Australia tidak akan tahan bila harus lepas hubungan diplomatik dengan Indonesia.
Presiden Jokowi mengetahui tentang Australia, sampai kapan pun si Bule yang satu ini akan selalu mau menangnya sendiri. Jokowi memahami, Australia sebagai negara sekuler, maka masalah perut akan menjadi pertimbangan utama bila akan memutuskan hubungan diplomatik dengan Indonesia. Pasalnya perut lebih dominan dibanding martabat dan nasionalisme.
Oleh sebab itu Australia tidak dapat dilepaskan dari produk-produk dalam negeri Indonesia. Demi isi perutnya agar Australia suatu saat akan kembali mendekati Indonesia, untuk kembali menjalin kemitraan ekonomi dan perdagangan. Akhirnya Australia akan ketahuan, mana tahan. Jangankan Australia, negara-negara yang mengaku sangat unggul kekuatan produk dalam negerinya seperti China, juga tetap membutuhkan peran negara lain.
Sampai hari ini belum ada tanda-tanda Australia bertindak lebih jauh akan memutuskan hubungan dagang, kerja sama ekonomi dengan Indonesia, apalagi sampai isu memutuskan hubungan diplomatiknya.
Sampai detik ini 30/4/15, perdagangan antara Indonesia dengan Australia tetap berjalan dengan baik. Terlihat dari neraca perdagangan, Ekspor dari Negeri Kangguru tersebut ke Indonesia mencapai USD5,65 miliar atau lebih tinggi sekitar 12 persen dari ekspor Indonesia ke Australia yang hanya sebesar USD5,03 miliar.
Australia menjadi investor di nomor 9 terbesar di Indonesia. Dari tahun 2011 ke tahun 2012 nilai investasi Australia melonjak 700 persen. Tahun 2011 kurang dari USD 100 juta, tahun 2012 meningkat lebih dari USD 700 juta. Di bidang perdagangan, total perdagangan dua negara mencapai USD 10 miliar lebih.
Berdasarkan buku statistik Indonesia 2013 yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia merupakan negara tujuan ekspor terbesar ketujuh untuk Australia pada tahun lalu. Sebaliknya, Australia negara tujuan ekspor terbesar kedelapan untuk Indonesia.
Sangat jelas dapat diramalkan jika pemutusan hubungan bilateral itu benar terjadi antara Indonesia dengan Australia, maka Indonesia tak akan dirugikan. Justru sebaliknya, Australialah yang akan mengalami kerugian besar. Menurut Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional (Dirjen PDN) Kementerian Perdagangan (Kemendag), Nus Nuzulia Ishak, Indonesia merupakan pasar utama tujuan ekspor kedua negara tersebut.
Sehingga jika hubungan tersebut diputuskan, maka yang paling dirugikan adalah Australia itu sendiri. Kita tidak usah takut. Kalau masih seperti itu, kita akan cari komoditi dari negara lain untuk mengimpor komoditi yang hilang dari Australia. Jadi, Australia harus hati-hati dengan Indonesia, bukan sebaliknya Indonesia harus hati-hati kepada Australia.
Jika itu terjadi, maka pasar Australia akan berkurang drastis, sedangkan mereka kesulitan untuk mencari pasar potensial seperti di Indonesia, Jika melihat statistik itu jelas kedua negara ini saling membutuhkan. Sehingga sulit rasanya jika Australia memutuskan hubungan bilateral meski masih dalam tahap penarikan duta besarnya.Hubungan Bilateral Putus, Siapa Takut, Australia Rugi besar!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H