Lihat ke Halaman Asli

Imam H Nugroho

Mantan guru, masih belajar.

Pengasong Konspirasi

Diperbarui: 23 Maret 2022   11:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya anti teori konspirasi. Bahwa ada orang atau sekelompok orang yang mengorkestrasi sejarah dunia, dengan cara-cara rahasia untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang dia/mereka inginkan. Mempercayai teori-teori konspirasi macam itu adalah sebuah kejahilan yang nirfaedah. Tapi harus diakui teori-teori ini sangat-sangat menghibur. Teori-teori tersebut sangat menarik untuk dipelajari, diikuti. Seperti Alice yang terjatuh di liang kelinci dan terdampar di Wonderland, para penikmat teori konspirasi seolah terguling makin dalam di liang kelinci Wonderland. Hal yang persis sama sering terjadi ketika suatu sore kita mencari sebuah artikel di wikipedia, tentang Perang Dunia II misalnya, dan tanpa terasa pukul 2 pagi kita masih di wikipedia dan membaca tentang Krisis Mentega Norwegia. Tidak berfaedah, tapi sangat menyenangkan. 

Harus bisa dibedakan konspirasi dan teori konspirasi. Konspirasi diserap dari bahasa Inggris dengan akar kata “to conspire” yang pada gilirannya diserap dari bahasa latin “con” yang artinya “bersama” dan “spirare” yang artinya “bernafas.” Mungkin artinya orang-orang yang berkonspirasi itu satu nafas, satu jiwa. 

Sampeyan mau percaya atau tidak percaya dengan teori konfirmasi, bukan masalah untuk saya. Ins tidak akan mengurangi silaturahmi, persis seperti perbedaan waktu pilpres/pilkada, ga ngaruh.

Tapi, persis seperti kalau Sampeyan beli rokok, perlu ada peringatan ketika memilih untuk mengkonsumsi teori-teori konspirasi. Satu, teori konspirasi itu melenakan. Bukan tanpa alasan buku-bukunya Dan Brown laris manis seperti gorengan. Jika Sampeyan memilih untuk percaya, jangan sampai terlena. Dua, teori konspirasi itu mengundang impotensi. Bukan, bukan impotensi yang itu. Maksudnya dalam sense bahwa kepercayaan pada teori-teori ini akan menyebabkan seseorang merasa kerdil dan lemah di hadapan kekuatan-kekuatan gelap yang menyutradarai sejarah dunia. Yang pada gilirannya bisa menumbuhkan sikap apatis yang tidak produktif. Ketiga, teori konspirasi bisa menyebabkan berkurangnya kemampuan berpikir kritis para penganutnya. Semua bukti dan keadaan yang bertentangan dengan teori yang dianut akan otomatis tertolak, karena semua bisa jadi sudah diatur oleh kuasa-kuasa jahat yang berkonspirasi tadi. 

Makanya, kalau tidak mau terlena, impoten, dan lemah pikir, jangan percaya teori konspirasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline