Oleh: Imam Hanafie El-Arwany
Biasanya kalau kita ingin memperoleh sesuatu yang memiliki nilai lebih semisal pengetahuan, keterampilan, atau pengalaman kita sering belajar dari orang-orang besar, tokoh-tokoh terkenal, ilmuwan-ilmuwan populer, atau ulama-ulama legendaris yang kita anggap memiliki daya linuwihsesuai dengan bidangnya masing-masing. Hal itu memang lumrah, karena memang mereka sudah teruji kredibilitas dan kompetensinya, sudah memiliki bekal yang cukup untuk dapat disebut sebagai orang besar, tokoh, ilmuwan ataupun ulama. Tapi pada kesempatan ini, saya ingin mengajak diri saya sendiri dan anda untuk mengenali dan menjelajahi dunia orang-orang kecil yang mungkin saja dari mereka kita bisa memetik pelajaran berharga, tentu dengan tidak bermaksud mengajak anda untuk menjadi orang kecil tapi justru sebaliknya untuk menjadi “orang besar”.
Orang kecil atau istilah-istilah lain yang sering kita dengar semisal “wong cilik”, “kaum alit”, atau “orang pinggiran” adalah kelompok masyarakat yang di negara berkembang seperti Indonesia ini jumlahnya mayoritas jika dibanding dengan “orang besar”, “orang berada” atau kelompok masyarakat yang hidupnya serba berkecukupan baik dari segi materi ataupun taraf pendidikan. Orang kecil itu hampir ada di semua wilayah, dari pedalaman hingga perkotaan, dari Sabang hingga Merauke, bahkan di seluruh penjuru dunia, dan bahkan di negara maju seperti Amerika pun orang kecil selalu ada.
Siapakah sebenarnya “orang kecil” itu? Mereka adalah kelompok masyarakat yang taraf hidupnya berada di bawah garis kemiskinan. Mereka adalah orang-orang yang hidupnya kurang beruntung, yang pendapatan sehari-harinya berada di bawah standar. Mereka adalah orang-orang yang tingkat pendidikannya kurang memadai sehingga kurang mendukung untuk memperoleh pekerjaan yang layak. Pendek kata, orang kecil adalah masyarakat kelas menengah ke bawah yang kehidupannya selalu digelayuti oleh segudang problem yang tak ada habis-habisnya, mulai dari masalah ekonomi, pendidikan, pekerjaan, kesehatan, dan seterusnya.
Orang-orang kecil dengan segala problem kehidupannya bukanlah orang-orang yang kesemuanya berwatak kerdil. Banyak orang-orang kecil yang memiliki sikap hidup yang jauh lebih baik dari orang-orang besar. Tidak sedikit orang-orang kecil yang kualitas keberagamaannya (religiusitas) jauh lebih mumpuni dibanding orang-orang besar. Berapa banyak mereka yang berpredikat “orang besar” yang memiliki kedudukan tinggi, pekerjaan yang sangat layak, taraf pendidikannya yang sangat memadai, yang sering disebut-sebut sebagai tokoh itu ternyata masih saja mengais-ngais rizki dengan jalan korupsi, menumpuk-numpuk kekayaan dengan cara yang syubhatbahkan haram. Orang-orang besar seperti inilah akibat terlalu sering “melihat ke atas” dan jarang “melihat ke bawah” sehingga ia lupa bahwa di bawahnya masih banyak ribuan bahkan jutaan orang-orang kecil yang kehidupannya jauh lebih rumit darinya.
Marilah kita renungkan sejenak kisah nyata mereka yang mengharukan berikut ini, seperti diberitakan dari (dream.co.id):
Terperanjatlah Supriyanto. Sehari-hari bekerja sebagai buruh tani, sungguh tak mengira putrinya berdiri di sana. Di atas panggung. Di podium. Menghadap ribuan orang yang tekun mendengar. Cobalah katakan, hati orang tua mana yang tidak terharu dirubung bahagia semanis itu?
Dan hari itu, takdir seperti sedang mengayun Supriyanto ke langit. Lihatlah dia sehari-hari. Mencangkul tanah demi dapur mengepul. Susah payah mengongkosi anak sekolah, dan hari itulah puncaknya: menyaksikan si bungsu berpidato di muka ribuan mahasisiswa, orang tua, para profesor dan doktor.
Angga Dwi Tuti Lestari, nama si bungsu berusia 22 tahun itu. Di atas panggung Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Solo itu, dia tidak terlihat tenang. Wisudawati dari dari Jurusan Biologi, Fakultas MIPA itu menyampaikan ucapan terima kasih kepada para dosen, Dekanat, Universitas dan semua pihak yang hadir di situ.
Angga masih di panggung, lalu bicaralah Ari Handono Ramelan. Dia adalah professor yang menjadi sebagai dekan di situ. Sesudah menyampaikan terima kasih, Handono lalu mengisahkan soal Angga. Mahasiswi Jurusan Biologi Fakultas MIPA itu memperoleh nilai terbaik. Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) nyaris sempurna: 3.98. Luar biasa.
Dan inilah yang membuat si Buruh Tani Supriyanto itu kian terkejut. Sang dekan meminta kedua orang tua Angga berdiri. Sedikit gemetar dia berdiri. Juga istrinya Sugiyanti. Tepuk tangan panjang membahana.