Lihat ke Halaman Asli

Unyil kisaran Kramat, Salemba, Matraman, Jatinegara

Diperbarui: 24 Juni 2015   10:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Lalu lalang berlalu dari jalan salemba ke arah matraman dan arah manggarai. kuikuti arus matraman. setelah melewati hotel mega matraman, aku ambil jalur kiri, krn sekitar 500 m lagi aku belok kiri ambil tegalan. beberapa meter stl jalur kiri kuambil, dgn kcepatan kira kira 40km/h, sekelebat kulihat gerobak dorong ala pembeli brg bekas yg kadang berubah fungsi menjadi portable-house, atau mobile-home yg sedang brenti di kiri jalan dgn didekatnya seorang yang aku yakin pernah melihatnya. orangnya kecil, pendek -maaf cebol-, rambut pendek, baju lusuh, mata bukan mata sayu (belum pernah kulihat mata sayu berada di kelopak matanya - meskipun aku jarang melihatnya). aku yakin itu dia. Unyil (aku pernah mendengar kawan2nya memangginya: Unyil). sejak awal2 penempatan pertama magang d Lapangan Banteng, aku mmperhatikan beberapa hal menarik u/ kumasukkan memori di otak. salah satunya adalah dia, pendorong grobak brg bekas yg orangnya mini, mungil, dengan gerobak dgn ukuran yg menurutku kurang proportional u/ ukuran tubuhnya. terlalu besar. jelas terlalu besar. ketika menarik gerobag tangannya harus sedikit lebih terbuka dan diangkagt agak lebih tinggi dibanding kalo kawan2nya menarik gerobag sejenis. kakinya yg relatif lbh kecil itupun hanya menghasilkan langkah yg tidak begitu besar, dan.. dia sering sendirian mendorong gerobag. seolah gerobag itulah sahabat hidupnya yg bisa ia sangat percaya, bahkan u/ mmpercayakan keberlangsungan hidupnya. seolah dia bilang kpd perutnya: tenang, masih ada gerobak. :)


Dgn sedikit bahasa njelimet kugambarkan: gerobag rapuh itulah pondasi unyil u/ menantang keras cadasnya hidup. di jakarta. beberapa kali kuperhatikan di cermin dan bayanganku ttg guratan wajahku, sepertinya aku jg sempat pernah mmpunyai mata seperti matanya Unyil. mata yg berisi semangat, bukan malas.

mulut unyil sering terbuka seolah2 nafas dr hidungnya tdk cukup u/ dijadikan modal berkelahi dgn keras kehidupannya sehingga butuh bantuan pernafasan dr mulutnya agar dia kuat. Itulah unyil. selalu ingin kuat. wajahnya tersirat kecuekan dgn tingkat kedewasaan yg cukup u/ tidak mmperhatikan mobil2 mewah yg melintas di jalan meskipun jalan raya merupakan habitatnya. waktunya tidak dia gunakan u/ sekedar berhitung ttg keberuntungan hidup yg bila dia berpikir ttg itu mungkin akan tumbuh di hatinya rasa iri, rasa tidak puas, rasa dianaktirikan oleh Tuhan. seolah dia tidak pernah menyianyiakan waktunya hanya u/ menikmati rasa sakit, penderitaan, ataupun kecengengan.


Pernah satu ketika tidak sengaja kulihat dia di St Jatinegara, bergaul dgn kawan2nya di Jatinegara. kawan2nya memanggil2 dia Unyil. sejak itulah baru aku tahu nama panggilannya. UNYIL. nama seorang tokoh boneka di televisi yg dulu popoler di TVRI dan sekarang di TVSwasta. pura2 saja aku beli teh botol di dekat tempat gerobagnya hanya u/ sekedar ingin mengetahui bagaimana pergaulannya (meskipun itu hanya sebagian sangat kecil dari pergaulannya, apalagi kehidupannya). wajahnya adalah wajah yg jarang tersenyum. terlihat otot2 di sekitar bibirnya membentuk mulutnya hingga berbentuk huruf n landai. belum pernah kulihat Unyil tersenyum. (begitu mahalkah senyum - jadi ngaca introspeksi diri dgn kesimpulan ternyata tertawaku masih begitu lebar :D ).


meskipun u/ mensyukuri, tp aku berharap smg aku cukup tau diri sebaiknya selebar apa aku tertawa, dan apa sebaiknya yg aku lakukan dgn kondisiku yg begitu nikmat ini.


:)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline