"Perjuangan Tidur di Otakku yang Sibuk : Menjinakkan Malam Bersama ADHD dan Disleksia"
Tidur bagiku adalah anugerah sekaligus ironi. Aku mencintainya, tapi aku lebih mencintai malam yang sunyi. Aku sering bercanda menyebut diriku "manusia semi-nocturnal" dengan sedikit kebanggaan. Bagaimana tidak? Malam adalah waktuku untuk hidup. Saat semua orang terlelap, aku memulai "shift kedua."
Pada malam-malam itu, aku merasa paling produktif. Aku menyelesaikan banyak hal membalas email, menulis, menyusun materi pelatihan, dan bahkan menyelesaikan pekerjaan untuk proyek non-profitku. Semuanya berjalan lebih lancar tanpa gangguan. Tidak ada notifikasi WhatsApp, tidak ada panggilan Zoom mendadak, tidak ada tuntutan dari dunia luar.
Tapi lama-kelamaan, pola ini mulai memukul balik. Aku bangun dengan kelelahan yang menumpuk. Mata berat, pikiran kabur. Meski aku terbiasa dengan rasa lelah, aku mulai menyadari sesuatu: ini bukan kehidupan yang seimbang. Apalagi sebagai seseorang dengan ADHD dan disleksia, otakku sudah sibuk sepanjang hari. Tambahan waktu kerja malam hanya memperburuk situasi.
Sebagai seseorang dengan ADHD, aku sering merasa otakku tidak pernah berhenti. Bahkan ketika tubuhku lelah, pikiranku tetap berputar-putar. Inilah salah satu alasan mengapa aku memilih malam untuk produktif. Namun, masalahnya, pola seperti ini bukan hanya tidak sehat tapi juga tidak berkelanjutan.
Salah satu gejala yang sering tidak dilaporkan dari ADHD pada orang dewasa adalah fatigue atau kelelahan kronis. Ini masuk akal karena otak ADHD sering bekerja seperti komputer yang memproses banyak tab sekaligus. Akibatnya? Rasa lelah yang menumpuk. Aku dulu mengabaikan ini, berpikir bahwa aku bisa "menyusul" di akhir pekan. Namun, tubuhku mulai menunjukkan tanda-tanda protes. Aku sering jatuh sakit, kurang fokus, dan yang paling parah, merasa kehilangan kontrol atas diriku sendiri.
Akhirnya, aku memutuskan untuk berubah. Ini adalah empat hal yang aku lakukan untuk memperbaiki pola tidurku:
- Mengatur Rutinitas Malam
Aku mulai melatih diriku untuk "menutup hari" pada jam tertentu, tidak peduli seberapa banyak pekerjaan yang tersisa. Aku membuat ritual seperti membaca buku ringan, meditasi, atau menulis jurnal sebelum tidur. Hal ini membantu otakku untuk memperlambat ritmenya. - Mengurangi Kafein di Malam Hari
Sebelumnya, aku sering mengandalkan kopi untuk tetap terjaga di malam hari. Sekarang, aku menggantinya dengan teh herbal atau air hangat. Mengurangi stimulan ini membantu tubuhku lebih rileks. - Membuat 'To-Do List' Siang Hari
Aku mulai memindahkan pekerjaan penting ke siang hari dengan menggunakan to-do list. Aku sadar bahwa aku perlu melatih otakku untuk fokus meski siang hari penuh gangguan. Memang sulit, tapi perlahan aku mulai terbiasa. - Menerima Batasan Diriku
Ini yang paling penting. Aku harus menerima bahwa aku bukan mesin. Sebagai seorang ADHD dan disleksia, aku perlu lebih banyak istirahat untuk menjaga energiku. Aku belajar berkata "cukup" pada diriku sendiri.
Kini aku menyadari bahwa tidur adalah investasi, bukan gangguan dari produktivitas. Tubuh dan otak ini adalah aset terbesar untuk semua pekerjaanku, termasuk misi non-profitku membantu anak-anak dengan kebutuhan khusus. Jika aku tidak merawatnya, apa yang bisa aku berikan untuk orang lain?
Bagi kita yang hidup dengan ADHD, tantangan tidur adalah nyata. Tetapi memperbaikinya adalah sebuah perjalanan, bukan tujuan yang instan. Aku masih berjuang setiap malam, tapi aku percaya, langkah-langkah kecil ini akan membuat perubahan besar.
"Tidur bukanlah kemalasan, tapi fondasi. Dalam tidur, kita bukan berhenti, melainkan mengisi ulang keberanian untuk menghadapi dunia."
Imam Setiawan