Dulu, saya adalah penggemar berat buku Atomic Habits karya James Clear. Buku itu duduk manis di meja samping tempat tidur saya, menjadi pedoman untuk membangun kebiasaan yang lebih baik. Saya bahkan memiliki habit tracker, tempat saya mencatat kebiasaan harian seperti tidur, olahraga, membaca, dan banyak lagi. Artikel pertama yang saya tulis pun tentang membangun kebiasaan.
Namun kini, saya memandang gaya hidup yang terobsesi pada kebiasaan itu sebagai mimpi buruk. Bukan berarti kebiasaan-kebiasaan ini menghancurkan hidup saya, tetapi dampaknya sering kali lebih buruk daripada yang saya bayangkan.
Sebagai seseorang dengan disleksia dan ADHD, rutinitas sempurna tampaknya menjadi kunci menuju kehidupan yang lebih teratur. Namun, ada sisi lain dari cerita ini yang jarang dibicarakan.
Masalah 1: "Katak yang Direbus Perlahan"
Tahun lalu, saya mencoba menciptakan "rutinitas pagi sempurna." Saya bangun pukul 6 pagi, menikmati sinar matahari pertama yang masuk ke kamar saya.
Setelah itu, saya mengayuh sepeda ke taman untuk berolahraga, lalu kembali ke rumah untuk sarapan dan kopi. Rutinitas ini diakhiri dengan menulis hingga siang hari. Setiap langkah terasa seperti roda gigi jam yang bergerak mulus.
Namun, tidak ada yang memberitahu saya bahwa rutinitas ini perlahan menjadi jebakan.
Sebagai seseorang dengan ADHD, saya cenderung kehilangan minat pada sesuatu yang terlalu teratur. Awalnya, saya merasa termotivasi. Tetapi lama-kelamaan, rutinitas yang sama mulai terasa seperti penjara yang membosankan. Dalam pola pikir ADHD, repetisi sering kali menjadi musuh.
Masalah 2: Beban Emosional dari "Ketidaksempurnaan"
Sebagai disleksia, saya sering merasa bahwa dunia menuntut saya untuk menjadi sempurna hanya untuk terlihat "normal." Jadi ketika saya gagal menjalankan rutinitas seperti yang direncanakan, rasa bersalah itu menghantam keras. Pikiran saya dipenuhi dengan suara yang mengatakan, "Kamu malas," atau "Kamu tidak cukup disiplin."