Pesawat Luar Angkasa yang Dibangun Disleksia
Dyslexia bukan kelemahan, melainkan kekuatan tersembunyi. Begitu banyak orang memandang disleksia sebagai hambatan ketidakmampuan membaca, menulis, atau memahami teks dengan cara yang sama seperti orang lain. Namun, bagaimana jika saya katakan bahwa dunia kita, bahkan teknologi yang kita gunakan setiap hari, sebagian besar terbentuk oleh kekuatan disleksia?
Sebuah artikel di Wired mengisahkan tentang Apple Park, markas besar Apple yang sering disebut sebagai "The Spaceship." Bangunan ini adalah simbol visi besar Steve Jobs, yang tidak hanya seorang inovator teknologi tetapi juga seorang penyandang disleksia. Bersama arsitek Norman Foster dan desainer produk Jony Ive keduanya juga disleksia Jobs menciptakan mahakarya arsitektur ini. Mereka membangun sesuatu yang bukan hanya indah secara estetika, tetapi juga revolusioner dalam fungsi dan keberlanjutan.
Membaca cerita itu, saya merasa seperti bercermin. Sebagai penyandang disleksia dan ADHD, saya selalu bertanya-tanya: apakah saya mampu membangun sesuatu yang berharga? Setiap perjalanan proyek Dyslexia Keliling Nusantara yang saya jalani adalah pengingat bahwa saya tidak hanya mampu, tetapi memiliki perspektif unik yang berharga. Seperti Jobs, Foster, dan Ive, saya percaya bahwa disleksia bukanlah akhir, melainkan awal dari cara berpikir yang berbeda.
Penelitian menunjukkan bahwa disleksia sering kali dikaitkan dengan keunggulan dalam berpikir kreatif dan kemampuan memecahkan masalah yang kompleks. Dr. Brock Eide, seorang ahli neuropsikologi, menyebut ini sebagai "kekuatan disleksia." Dalam bukunya, The Dyslexic Advantage, ia menjelaskan bahwa otak disleksia memiliki cara unik dalam mengolah informasi, memungkinkan pemikiran abstrak, imajinasi visual, dan keterampilan analisis spasial yang luar biasa.
Steve Jobs, yang mendeskripsikan dirinya sebagai "pemikir yang berbeda," adalah contoh sempurna. Ia mampu membayangkan teknologi yang tidak hanya memecahkan masalah tetapi juga membawa estetika dan emosi. Norman Foster merancang bangunan yang menghubungkan manusia dengan lingkungan sekitarnya, sementara Jony Ive menciptakan desain yang tidak hanya indah tetapi juga intuitif. Ketiganya membuktikan bahwa disleksia bukanlah hambatan, melainkan bahan bakar kreativitas.
Namun, jalan menuju pengakuan ini tidaklah mudah. Saya ingat masa-masa sulit di sekolah ketika huruf-huruf tampak seperti "menari" di depan mata saya. Guru-guru saya bingung, beberapa bahkan menganggap saya malas atau bodoh. Saat itulah ayah saya menjadi pahlawan, membantu saya memahami bahwa saya bukan gagal, tetapi hanya membutuhkan cara yang berbeda untuk belajar.
Dari pengalaman itu, saya tergerak memulai Dyslexia Keliling Nusantara. Proyek ini adalah ruang untuk membantu anak-anak disleksia di seluruh Indonesia menemukan cara belajar yang sesuai dengan keunikan mereka. Di setiap kota yang saya kunjungi, saya melihat wajah-wajah kecil penuh harapan, yang hanya butuh seseorang untuk berkata, "Kamu istimewa. Kamu mampu."
Apple Park adalah lebih dari sekadar bangunan; itu adalah bukti nyata bahwa disleksia dapat menciptakan keajaiban. Kisah di balik "pesawat luar angkasa" itu mengingatkan saya pada anak-anak yang saya temui di Nusantara. Dengan dukungan yang tepat, mereka juga bisa menciptakan sesuatu yang luar biasa, sesuatu yang hanya bisa mereka bayangkan.
Saya ingin menutup tulisan ini dengan sebuah kutipan yang selalu menginspirasi saya, dari Albert Einstein---seorang disleksia lain yang telah mengubah dunia:
"Everyone is a genius. But if you judge a fish by its ability to climb a tree, it will live its whole life believing that it is stupid."