"Di Balik Label 'Low Support Needs': Menyingkap Perjuangan Disleksia"
"Tidak ada perjuangan yang benar-benar kecil ketika setiap langkah adalah perjuangan memahami dunia dengan cara yang berbeda."
-- Imam Setiawan
Dalam dunia pendidikan dan masyarakat umum, istilah "low support needs" sering digunakan untuk menggambarkan individu dengan disleksia yang dianggap memiliki kebutuhan pendukung minimal. Label ini mungkin terlihat ringan, bahkan membanggakan, tetapi di baliknya tersimpan perjuangan tak terlihat dan kebutuhan yang sering kali diabaikan. Sebagai seorang penyandang disleksia dan ADHD, saya memahami dengan mendalam bagaimana label ini dapat menjadi penghalang untuk mendapatkan bantuan yang benar-benar diperlukan.
Penelitian menunjukkan bahwa sekitar 10-15% populasi dunia memiliki disleksia, tetapi banyak yang masuk kategori "mild" atau "low support needs." Studi dari Shaywitz dan Shaywitz (2004) mengungkapkan bahwa meskipun individu ini mungkin mampu membaca atau menulis dengan baik secara permukaan, mereka tetap menghadapi kesulitan dalam memahami makna, memproses informasi, atau mengatur waktu. Label "low support needs" sering kali mengabaikan aspek emosional, kognitif, dan sosial yang menyertai disleksia.
Ketika saya bersekolah, guru-guru sering mengatakan, "Kamu sebenarnya pintar, hanya kurang usaha." Namun, mereka tidak melihat perjuangan internal saya setiap kali huruf-huruf "menari" di halaman buku. Mereka tidak menyadari rasa lelah yang muncul hanya karena harus fokus selama 30 menit pada tugas yang sederhana bagi teman-teman saya.
Menurut teori Double Deficit Hypothesis yang diajukan oleh Wolf dan Bowers (1999), disleksia tidak hanya terkait dengan kesulitan membaca, tetapi juga dengan lambatnya pemrosesan fonologis dan pengenalan kata. Individu yang dianggap "mild" dalam disleksia sering kali memiliki salah satu dari dua defisit tersebut, yang membuat mereka tampak mampu di permukaan tetapi sebenarnya berjuang lebih keras dibandingkan orang lain.
Hal ini diperkuat oleh penelitian Fletcher et al. (2007), yang menekankan bahwa kebutuhan pendukung untuk individu dengan disleksia tidak hanya harus didasarkan pada performa akademik, tetapi juga pada pemahaman mendalam tentang pengalaman emosional dan psikologis mereka. Rasa malu, frustasi, atau bahkan depresi sering kali menjadi konsekuensi yang tak terlihat dari label "low support needs."
Sebagai seseorang dengan ADHD di samping disleksia, perjuangan saya tidak hanya soal membaca atau menulis. ADHD membuat otak saya "sibuk sekali," melompat dari satu ide ke ide lain, sulit untuk fokus, dan mudah lelah secara mental. Label "low support needs" membuat orang sering mengira bahwa saya "hanya sedikit berbeda." Kenyataannya, perjuangan saya lebih seperti gunung es hanya sebagian kecil yang terlihat.
Misalnya, ketika saya mengerjakan tugas sekolah, saya membutuhkan waktu dua kali lebih lama untuk menyelesaikannya dibandingkan teman-teman saya. Namun, karena hasil akhir saya "cukup baik," guru dan teman-teman tidak menyadari usaha besar yang saya lakukan di balik layar. Di sinilah label "low support needs" menjadi jebakan: kebutuhan saya tidak dianggap penting hanya karena saya mampu menampilkan performa yang terlihat normal.
Sistem pendidikan kita sering kali mengutamakan hasil dibandingkan proses. Anak-anak dengan "low support needs" sering kali dibiarkan berjuang sendiri karena dianggap "sudah cukup baik." Namun, apa yang terjadi pada mental mereka? Bagaimana mereka merasa didukung? Penelitian dari Snowling et al. (2011) menunjukkan bahwa individu dengan disleksia ringan memiliki risiko tinggi mengalami kecemasan dan kurang percaya diri karena kurangnya dukungan yang memadai.