"Disleksia dan Ujian Nasional: Mencari Makna Kebebasan untuk Semua Murid"
Ketika saya pertama kali mengenal huruf, mereka bukan teman yang ramah. Tulisan di halaman buku terlihat menari-nari, susah dijinakkan oleh otak saya yang sibuk sendiri. Saat itu, saya hanyalah seorang anak kecil dengan semangat yang sama seperti teman-teman sekelas, meski perjuangan saya untuk memahami satu paragraf sering kali lebih berat dari teman-teman yang lain.
Saya tak tahu jika suatu hari saya akan diuji bukan hanya oleh tulisan, tetapi juga oleh sistem pendidikan yang menuntut anak-anak, tak peduli latar belakang atau kesulitan mereka, untuk melewati standar yang sama.
Bagi anak-anak disleksia dan kebutuhan khusus lainnya, Ujian Nasional (UN) serta Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK) seringkali bukanlah alat ukur yang adil. Sebagai seseorang yang hidup dengan disleksia sejak kecil, saya tumbuh dengan berbagai ujian yang tidak hanya mengukur pengetahuan, tetapi juga menguji ketangguhan mental saya dalam menghadapi sistem yang kadang kurang peduli pada keberagaman cara belajar.
Dari bangku sekolah hingga dunia kerja, ujian demi ujian terus hadir, memaksa saya menyesuaikan diri dengan format standar yang jarang memberi ruang pada keunikan, apalagi kemerdekaan berpikir.
Sejak kecil, ujian tertulis adalah momok. Huruf-huruf yang berloncatan di kertas, waktu yang terasa berkejaran, dan tekanan untuk menjawab benar semua soal membuat saya sering merasa gagal bahkan sebelum memulai.
Ketika saya duduk di bangku sekolah, saya merasa lebih banyak diuji ketimbang didukung, terutama karena tidak ada sistem yang cukup fleksibel untuk mengakomodasi kondisi saya. Tak hanya akademis, tetapi juga keberanian saya dipertaruhkan.
Namun, perjalanan ini membawa saya pada kesadaran bahwa pendidikan yang memerdekakan seharusnya tidak hanya berhenti pada penghapusan atau pelaksanaan ujian, tetapi juga menyentuh pada bagaimana ujian bisa menjadi alat yang lebih adil bagi semua anak, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan khusus.
Seiring saya tumbuh dewasa, ketika saya melamar pekerjaan dan kembali menghadapi ujian, saya bertanya-tanya, apakah mungkin ada ujian yang betul-betul memerdekakan?
UN kini digantikan dengan ANBK yang digadang-gadang lebih mengutamakan asesmen dan pemahaman. Sayangnya, meski bertransformasi, sistem ini masih belum cukup memerdekakan anak-anak disleksia dan kebutuhan khusus lainnya.