Lihat ke Halaman Asli

Imam Setiawan

Praktisi dan Konsultan Anak berkebutuhan Khusus

Disleksia dan Sekolah

Diperbarui: 27 September 2024   13:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

anak kelas individual pak imam

Sepanjang hidup saya, saya sering merasa seperti berada di dunia yang berbeda dunia yang tidak terlihat oleh orang lain, di mana huruf-huruf seakan menari di depan mata, bergoyang tanpa arah, sulit dikejar. Ketika teman-teman saya tertawa, terkadang bukan karena mereka menemukan sesuatu yang lucu, tetapi karena saya tertinggal jauh di belakang, bergulat dengan kata-kata yang tampak mudah bagi mereka. Tawa mereka, yang mungkin hanya sekilas bagi sebagian orang, bagi saya terasa seperti beban berat yang menghujam hati. Saya tahu mereka tidak memahami apa yang saya alami, dan, jujur saja, mungkin saya pun belum benar-benar mengerti apa yang sebenarnya terjadi dalam diri saya.

Disleksia bukanlah sahabat yang saya pilih, tetapi ia selalu hadir, berbisik di telinga saya setiap kali saya membuka buku atau menghadapi kertas ujian. Huruf-huruf sering kali muncul terbalik, bercampur satu sama lain, seakan ada kekacauan yang tak dapat dijinakkan dalam kepala saya. Setiap kata seperti teka-teki yang rumit, dan hal-hal sederhana yang orang lain anggap sepele membaca kalimat, memahami instruksi tertulis—bagi saya seperti mendaki gunung yang curam tanpa ujung. Lelah, frustrasi, dan rasa putus asa menjadi teman saya sehari-hari. Yang lebih menyakitkan, saya tahu bahwa tidak ada yang menyadari betapa sulitnya ini bagi saya, betapa kerasnya perjuangan yang saya jalani di balik wajah yang mencoba tersenyum dan tertawa bersama mereka.

Di sekolah, tawa sering kali berubah menjadi belati yang menusuk lebih dalam daripada yang bisa saya perkirakan. Mereka yang tidak mengerti tantangan yang saya hadapi membuat lelucon tentang ketidakmampuan saya. Saya tidak menyalahkan mereka, karena saya tahu, mereka tidak pernah diajarkan tentang disleksia. Namun, luka yang mereka tinggalkan tetap ada, membekas di dalam hati, menambah beban pada kesehatan mental saya. Setiap ujian bukan sekadar serangkaian soal yang harus dijawab, tetapi juga mimpi buruk yang datang berulang kali sebuah pengingat akan kegagalan yang tampaknya sudah pasti terjadi. Setiap kali saya duduk di depan kertas ujian, kecemasan menyelimuti dada saya, menenggelamkan harapan sebelum saya sempat mencoba.

Saya hanyalah salah satu dari banyak anak yang berjalan di lorong-lorong sekolah tanpa pernah didiagnosa secara resmi. Betapa banyak anak lain yang menghadapi kesulitan yang sama, merasa bodoh hanya karena sistem pendidikan kita tidak mampu melihat dan memahami mereka? Ketika diagnosis disleksia tak kunjung datang, terutama di keluarga yang kurang mampu, pilihan menjadi sangat terbatas. Banyak yang menyerah, menerima nasib karena mereka tidak memiliki sumber daya untuk mendapatkan bantuan yang layak. Sistem pendidikan kita, sayangnya, terlalu sering gagal dalam melihat anak-anak seperti saya. Bukannya mendukung dan memberikan solusi, sering kali kami ditempatkan di barisan terbawah, seolah-olah di sanalah tempat kami seharusnya berada.

Apakah ini adil? Apakah ini benar-benar memenuhi kebutuhan kami yang memerlukan penyesuaian? Diskriminasi itu nyata. Seorang anak yang memiliki tantangan belajar sering kali langsung dianggap tidak akan pernah bisa mengejar ketertinggalannya. Dunia tampaknya sudah memutuskan bahwa saya tidak akan mencapai apa-apa, bahkan sebelum saya diberi kesempatan untuk mencoba. Namun, di dalam hati saya, saya yakin bahwa jika diberi kesempatan yang setara, kami bisa berprestasi seperti anak-anak lainnya. Yang kami inginkan bukanlah belas kasihan, melainkan kesempatan-kesempatan untuk membuktikan diri bahwa kami mampu, bahwa kami tidak bodoh seperti yang orang lain pikirkan.

Ada sebuah pepatah yang sangat saya sukai: “Jika kalian menilai seekor ikan dari kemampuannya memanjat pohon, seumur hidupnya ia akan percaya bahwa dirinya bodoh.” Begitulah saya merasa selama bertahun-tahun. Saya diajarkan untuk percaya bahwa saya tidak mampu, bahwa saya lebih rendah dari yang lain hanya karena saya tidak bisa membaca seperti mereka. Namun, kini saya tahu bahwa dengan dukungan yang tepat, disleksia tidak harus menjadi penghalang. Dengan bantuan yang benar, kami bisa tumbuh menjadi individu yang percaya diri, menemukan potensi yang tersembunyi di balik kekurangan kami, dan mungkin bahkan mencapai hal-hal yang luar biasa.

Disleksia bukanlah kutukan. Di balik tantangan membaca, tersembunyi kelebihan-kelebihan yang sering kali tidak disadari. Anak-anak dengan disleksia sering kali memiliki kemampuan verbal yang luar biasa, kesadaran spasial yang tajam, dan imajinasi visual yang luar biasa. Bakat-bakat ini hanya menunggu untuk ditemukan dan dikembangkan, tetapi itu hanya bisa terjadi jika sistem pendidikan kita memberi mereka kesempatan yang layak. Kita harus melepaskan pandangan kuno yang mengharuskan seorang anak gagal dulu sebelum dikenali kebutuhannya. Anak-anak seperti saya tidak perlu gagal; kami hanya butuh kesempatan untuk berkembang, untuk dipahami, dan untuk dihargai apa adanya.

Saya percaya bahwa jika kita mulai melihat disleksia bukan sebagai hambatan, tetapi sebagai peluang untuk melihat dunia dari sudut yang berbeda, kita akan menemukan potensi luar biasa di balik tantangan ini. Saya berharap suatu hari nanti, tidak ada lagi anak yang merasa seperti saya dulu merasa tertinggal, merasa gagal, hanya karena dunia belum siap untuk memahami mereka.

“Hapus kata-kata seperti "bodoh", "bodoh", dan "tertantang" dari kosakata Kalian”




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline