Sepanjang hidup saya, saya sering merasa seperti berada di dunia yang berbeda dunia yang tidak terlihat oleh orang lain, yang mana huruf-huruf seakan menari di depan mata, bergoyang tanpa arah, sulit dikejar.
Ketika teman-teman saya tertawa, terkadang bukan karena mereka menemukan sesuatu yang lucu, tetapi karena saya tertinggal jauh di belakang, bergulat dengan kata-kata yang tampak mudah bagi mereka.
Tawa mereka, yang mungkin hanya sekilas bagi sebagian orang, bagi saya terasa seperti beban berat yang menghujam hati.
Saya tahu mereka tidak memahami apa yang saya alami, dan, jujur saja, mungkin saya pun belum benar-benar mengerti apa yang sebenarnya terjadi dalam diri saya.
Disleksia bukanlah sahabat yang saya pilih, tetapi ia selalu hadir, berbisik di telinga saya setiap kali saya membuka buku atau menghadapi kertas ujian.
Huruf-huruf sering kali muncul terbalik, bercampur satu sama lain, seakan ada kekacauan yang tak dapat dijinakkan dalam kepala saya.
Setiap kata seperti teka-teki yang rumit, dan hal-hal sederhana yang orang lain anggap sepele membaca kalimat, memahami instruksi tertulis—bagi saya seperti mendaki gunung yang curam tanpa ujung.
Lelah, frustrasi, dan rasa putus asa menjadi teman saya sehari-hari. Yang lebih menyakitkan, saya tahu bahwa tidak ada yang menyadari betapa sulitnya ini bagi saya, betapa kerasnya perjuangan yang saya jalani di balik wajah yang mencoba tersenyum dan tertawa bersama mereka.
Di sekolah, tawa sering kali berubah menjadi belati yang menusuk lebih dalam daripada yang bisa saya perkirakan. Mereka yang tidak mengerti tantangan yang saya hadapi membuat lelucon tentang ketidakmampuan saya.
Saya tidak menyalahkan mereka, karena saya tahu, mereka tidak pernah diajarkan tentang disleksia. Namun, luka yang mereka tinggalkan tetap ada, membekas di dalam hati, menambah beban pada kesehatan mental saya.