Lihat ke Halaman Asli

Catatan Tentang Kematian

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

30 Juni ‏2005

Telah lama aku membaca buku-buku tentang kematian, hingga hampir-hampir aku mengerti tentang makna, arti dan segala macam hakikat yang ada padanya. Perjalanan manusia, mulai dari ia belum berupa sesuatu, hingga menjadi sesuatu dalam perut ibunya, kemudian lahir dan tumbuh besar di dunia, untuk kemudian pergi lagi, kemana, menuju kehidupan yang lain. Telah lama kupahami, bahwa dunia ini tak lebih dari sebuah pementasan drama kolosal dimana Allah adalah sutradara, produser dan perancang skenario terbaik sepanjang sejarah. Telah lama kupahami pula bahwa arti hidup ini hanya untuk mencari ridho dari Allah-ku, agar aku dapat bahagia kelak di sebuah alam lain yang samasekali asing dan tidak aku mengerti.

Namun kejadian demi kejadian yang beruntun belakangan ini, membuatku merenungi kembali arti dan hakikat kematian. Bukan lagi sebagai sebuah pemahaman atas bacaan-bacaan yang pernah aku baca, atau ucapan-ucapan ustadz yang pernah aku dengar. Sekarang aku mencoba memahaminya lebih dalam, lebih utuh, lebih ke hakikatnya. Mencoba merenungkan lagi arti hidup, arti kehadiran orang-orang di sekelilingku dan arti diriku bagi mereka.

Semua ini bermula di penghujung tahun 2004, ketika aku menyaksikan televisi dan melihat orang-orang menangis sedih dengan latar belakang rumah-rumah hancur serta manusia-manusia yang terbujur kaku tanpa nyawa. Sebuah bencana alam bernama gempa bumi terjadi diikuti badai tembok air yang bernama tsunami yang meluluhlantakkan semua jenis kehidupan. Saat itu aku hanya bisa terhenyak, tak percaya dan tak mengerti. Betapa mudahnya orang-orang meregang nyawa. Waktu sepersekian detik. Bagaimana seseorang yang beberapa detik sebelumnya masih tertawa dan bercanda, bersenam pagi, lalu di detik berikutnya sudah menjadi tubuh tak bernyawa, tersangkut diantara ranting-ranting pohon, dan terbenam diantara lumpur-lumpur coklat. Khayalan-khayalan burukpun melintas di benakku, bagaimana jika itu terjadi pada keluargaku, kekasihku, teman-temanku, dan semua orang yang aku kenal.

Saat itu aku mencoba merenungi lagi apa arti kematian dan kehidupan, dan kalimat yang terngiang di telingaku adalah, “Kehidupan adalah sebuah jalan menuju kematian, dan kematian adalah langkah awal menuju sebuah perjumpaan.” Lalu timbul lagi pertanyaan dalam pikiran bodohku, kalau kematian adalah langkah awal menuju sebuah perjumpaan, mengapa begitu banyak orang yang takut pada perjumpaan itu. Entahlah…

3 Juli 2005

Kematian, lagi-lagi aku menekurinya. Bukan untuk takut kepadanya, melainkan bagaimana aku dapat menjalani hidup dan menemui kematianku dalam kondisi yang sempurna dan itulah yang selama ini aku usahakan. Dari sisi lain, aku lihat dunia begitu indah, menyenangkan, dan memukau mataku seolah-olah semua imaji yang buruk tentang tsunami waktu itu telah sirna. Aku heran, dunia beserta isinya nanti akan hancur, tapi mengapa Allah menciptakannya serba sempurna sampai-sampai aku merasa enggan untuk meninggalkannya bahkan aku sempat berpikir untuk hidup selamanya dan dapat menikmati keindahan itu selamanya, ide macam apa yang ada di dalam benak-Nya. Mungkinkah Dia sedang pamer dihadapanku…

16 Juli 2005

Sekali lagi Allah menunjukkan kesombongan-Nya. Ketika aku mulai beranjak dan berjalan mempersiapkan segala sesuatu yang akan aku bawa menuju kematianku nanti, Dia berikan padaku sebuah cobaan terberat yang selama ini selalu menyakitkanku dan menjauhkan aku dari hadapan-Nya. “Allah, aku tahu ini adalah rencana-Mu, aku tahu bekalku yang paling sempurna untuk menemui-Mu adalah rasa cinta, rasa cintaku kepada-Mu, tapi ampuni aku karena aku hanya bisa mencintai-Mu melalui ciptaan-Mu.”

29 Juli 2005

Lagi, aku masih ingat ketika aku duduk sendiri di sebuah tempat sepi ditengah malam, dan tempat itu bukanlah tempat yang dapat aku banggakan kepada siapapun, disanalah aku mulai menemukan Allah, secara utuh. Bukan berdasar sholatku yang khusyu’, bukan juga dengan alasan wiridku yang panjang, melainkan ketika kematian itu sendiri dihadapkan kepadaku. Saat itu terhentilah semua yang hidup dalam badanku, terhenti nafasku, terkatup kedua bola mataku. Kupandangi diriku sendiri terduduk di sebuah sudut toko seorang Nipon, lalu aku mulai melayang, meninggi dan tanpa kusadari aku mulai menangis. Aku meronta, belumlah cukup bekal yang aku bawa nanti, masih banyak yang belum aku selesaikan, dan masih banyak orang yang harus aku temui. Ternyata memang benar, kematian adalah pengantar menuju perjumpaan manusia kepada Khaliknya, dan entah mengapa aku malah takut mengalaminya meski itu pasti terjadi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline